Bertolak belakang dengan kondisi umat Islam di kawasan Asia, yang relatif mengalami penurunan dalam berbagai aspek, perkembangan umat Islam di kawasan Eropa dan Amerika Serikat belakangan ini sangat mencengangkan. Masjid tumbuh semakin banyak; kegiatan keislaman semakin semarak. Apalagi di bulan puasa seperti sekarang ini.
Pernyataan Kanselir Anggela Merkel menarik untuk dicermati. Menurutnya, Jerman telah gagal untuk memahami bagaimana imigran Muslim telah mengubah negara mereka dan harus menerima kenyataan bahwa jumlah masjid lebih banyak dari gereja di seluruh negeri. “Masjid, akan menjadi bagian lebih menonjol dari kota-kota kita dari sebelumnya,” katanya.
Di Perancis 30 persen dari anak usia 20 tahun ke bawah adalah Muslim. Rasio di Paris dan Marseille telah melonjak menjadi 45 persen. Di Perancis Selatan jumlah masjid lebih banyak dari gereja.
Beberapa data perkembangan muslim di kawasan Inggris juga tak jauh berbeda. Di Britania Raya dalam 30 tahun terakhir populasi Muslim telah naik dari 82 ribu menjadi sekitar 2,5 juta. Jumlah masjid di seluruh Inggris kini mencapai 1000 masjid; sebagian besar banyak yang dikonversi dari gereja.
Di negara-negara Eropa lainnya, perkembangan serupa tak jauh berbeda. Perkembangan jumlah umat Islam meningkat sangat signifikan melampaui perkembangan agama lainnya.
Banyak kalangan terperangah melihat realitas sosial ini. Di satu sisi cara pandang negatif pada Islam masih mudah ditemui di kawasan Eropa dan Amerika Serikat. Namun fakta sosial memperlihatkan arus perubahan justru memperlihatkan peningkatan jumlah umat Islam. Ini artinya cara pandang negatif pada Islam ternyata mendorong keingintahuan mempelajari agama Islam, yang pada titik lebih jauh memunculkan minat memeluk agama Islam.
Faktor yang lebih bersifat intelektual ini memang bukan satu-satunya yang mendorong perubahan demografi di kawasan Eropa dan Barat lainnya. Perkembangan imigran dari negara-negara berpenduduk mayoritas Islam ikut memberi andil. Namun mengingat ketatnya penanganan kepada kalangan imigran muslim pengaruhnya pada peningkatan jumlah umat Muslim relatif kecil.
Di luar dua faktor itu, yang sebenarnya tak kalah menarik adalah perilaku keseharian kehidupan umat Islam. Masyarakat Muslim –baik yang imigran maupun penduduk asli- jauh lebih bersikap terbuka dalam bersosialisasi dengan masyarakat. Keislaman yang lebih santun dan bersahabat seperti membuka fakta bahwa ternyata ajaran Islam jauh bertolak belakang dari pandangan negatif yang selama ini digembar gemborkan di berbagai media Barat.
Beberapa pengamat mencontohkan apa yang terjadi di Liverpool ketika tampil sosok pemain bola Muslim seperti Mohammad Salah dan Sadio Mane. Personality dua pemain tim Liverpool ini baik saat di lapangan maupun dalam kehidupan keseharian seperti magnit sangat kuat untuk mengundang simpati masyarakat Inggris, terutama para pendukung Liverpool.
Yang sedikit serius memberi penilaian bahwa agama Islam belakangan ini perkembangannya mengesankan di negara yang justru lebih maju peradabannya, lebih disebabkan keterbukaan ajaran Islam dalam merespon dinamika sosial. Islam disebut begitu mengapresiasi perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan tanpa harus meninggalkan nilai spiritual. Ikatan spiritual keislaman tidak mantabukan keterbukaan menerima kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan. Karenanya mereka yang terbiasa hidup dalam “dunia teknologi” sama sekali tak terganggu ketika berada dalam nilai spiritual Islam, yang secara fitrah merupakan kebutuhan dasar manusia. Ada keserasian indah yang terbangun pada relasi riligiusitas dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Masyarakat Muslim di kawasan Asia, terutama di negeri ini agaknya perlu belajar dari kaum Muslimin di Eropa, yang makin mengundang simpati dan apresiasi tinggi. Mereka tidak berteriak lantang tentang kehebatan keislaman apalagi sampai kemudian bersikap mengambil jarak pada kalangan di luar Islam. Mereka memperlihatkan keislaman dalam kehidupan keseharian; sikap keislaman yang rahmatan lil alamin, yang membawa kedamaian, cinta dan kasih sayang. (*)