JAKARTA, koranmadura.com – Setelah Kementerian Agama (Kemenag) merilis 200 nama mubalig yang terekomendasi, kini Majelis Ulama Indonesia (MUI) berencana membikin standardisasi mubalig.
“Kalau kami, kami akan beri standar,” kata Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat Cholil Nafis, Selasa, 22 Mei 2018.
Standardisasi itu berupa penilaian terhadap para mubalig yang mendaftar. Penilaian dilakukan berdasarkan kualifikasi pendidikan, karya tulis, rekam jejak di masyarakat, rekam jejak digital, dan konsistensi pengamalan ilmu. Ini akan mirip seperti cek administratif. “Seperti orang seleksi administrasi. Kan harus diuji,” kata Cholil.
Nantinya, para mubalig yang telah dicek kualitasnya itu bakal dikelompokkan berdasarkan kompetensi dan levelnya. Ada yang punya kompetensi tingkat provinsi, nasional, dan internasional.
Syarat mubalig berkualifikasi internasional adalah menguasai isu-isu internasional dan minimal bisa berbahasa Inggris. Dengan kategorisasi itu, nantinya umat Islam bisa memilih mubalig sesuai dengan kualifikasi yang diinginkan atau dibutuhkan. “Nanti ada semacam piagam (untuk mubalig yang telah distandardisasi MUI),” kata dia.
Sehubungan dengan daftar 200 mubalig rilisan Kementerian Agama (Kemenag), Cholil menilai Kemenag tak punya hak melakukan standardisasi. Alasannya, Kemenag bukanlah kementerian yang hanya mengurusi satu agama, tapi juga semua agama.
“Kemenag tidak punya hak melakukan standardisasi orang-orang minta yang buat MUI saja, bukan Kemenag. Karena kalau Kemenag buat, maka bukan hanya Islam (yang diurusi Kemenag),” kata Cholil.
Soal biaya yang dikenakan kepada para mubalig untuk mendapatkan piagam standardisasi MUI, Cholil mengatakan nantinya hal itu tergantung kondisi anggaran MUI. Bisa jadi nanti para mubalig dikenai biaya standardisasi.
“Kalau bayaran itu ya, kalau kita punya anggaran ya nggak perlu. Kalau memang nanti perlu dilakukan uji, ya bayar. Nanti tergantung bagaimana kondisi di lapangan,” kata dia.
Soal perbedaan standardisasi mubalig ini dengan proses mendapatkan sertifikat halal, meski Cholil tak mau menyebut standardisasi ini sebagai sertifikasi mubalig, ada analogi yang mirip di antara keduanya.
“Kalau ingin menjadi mubalig yang direkomendasikan MUI, maka silakan mengajukan standardisasi. Kalau mengajukan, maka kita beri standardisasi. Kalau nggak mengajukan, ya nggak usah dikasih,” tuturnya.
Bukan berarti yang tidak mengajukan standardisasi ke MUI adalah mubalig yang tidak baik. Ini sama seperti makanan bersertifikat halal, bukan berarti makanan yang tidak bersertifikat halal dari MUI adalah haram. “Yang tidak mendapat sertifikat halal bukan berarti haram, tapi dia hanya tidak mengajukan,” kata Cholil.
Rencana ini bukanlah wacana mengawang-awang. MUI segera mengontak bagian dakwah tiap ormas Islam untuk mengeksekusi ide ini. “Kami sudah mengontak bagian dakwah masing-masing, dalam waktu dekat sehari atau dua hari, kita akan rapat soal standardisasi mubalig,” kata Cholil.