Ramadan tahun ini seperti biasa masjid, mushola, langgar di seluruh Indonesia mengadakan berbagai kegiatan keislaman. Tadarus Al Quran biasanya merupakan mata acara yang menempati prioritas utama atas dasar pertimbangan antara lain karena bulan Ramadan sering pula disebut Syahrul Quran (bulan Quran) karena pertama kali Al Quran diturunkan. Apalagi ada hadist yang menegaskan pahala berlipat jika tadarus di bulan Ramadhan.
Demikian bergairahnya kegiatan “tadarus” jika ditanyakan kepada jamaah masjid, mushola apakah pernah membaca al quran sampai hatam (selesai) sebagian besar menjawab pernah. Hingga mudah sekali di negeri ini menemukan masyarakat muslim telah hatam membaca al Quran sekali bahkan berkali-kali. Sebuah gambaran kegairan luar biasa untuk membaca Al Quran. Namun sayangnya, ketika ditanyakan lebih dalam lagi apakah pernah membaca terjemahan (arti) al Quran, apalagi tafsirnya dari Al Fatihah sampai surat An Annas, hampir bisa dipastikan sulit menemukannya.
Kondisi ini sebenarnya merupakan ironi besar ummat Islam. Terpapar jelas rentetan persoalan mendasar terkait keterikatan keagamaan ummat Islam yang pada titik lebih jauh sudah pasti akan mempengaruhi kualitas perilaku keseharian baik dalam ubudiyah, muamalat, akhlak, tasauf, filsafat dan lainnya. Bagaimana mungkin menjadikan Al Quran sebagai petunjuk, pedoman hidup jika membaca terjemahannya saja belum pernah.
Padahal Al Quran merupakan kitab utama dan pertama ummat Islam. Al Quranlah yang menjadi pijakan hidup manusia sehingga disebut sebagai seorang muslim. Bukankah ironi besar jika mengaku seorang muslim, beragama Islam tetapi tidak mengetahui apa isi kandungan Al Quran. Makin terasa aneh ketika seorang muslim mengaku membaca Al Quran hingga hatam berkali-kali tanpa mengetahui artinya.
Pertanyaan lebih mendalam lagi bagaimana mungkin menjadikan Al Quran dapat menjadi pedoman hidup sementara –jangankan mengerti- membaca terjemahannya saja belum pernah. Dengan berpikir sederhana saja tak mungkin seseorang dapat optimal mentaati sebuah aturan atau pedoman tanpa membaca atau mengetahui aturannya.
Semua ulama memang menyepakati hadist yang menegaskan membaca Al Quran akan mendapatkan pahala berlimpah. Ada hadist menyebutkan dari jumlah huruf Al Quran yang dibaca pahala akan mengalir apalagi ketika dilakukan pada bulan suci Ramadhan.
Tak ada yang salah terkait pahala membaca Al Quran. Kesalahan terjadi ketika memahami membaca mengabaikan “nilai” sesungguhnya dari tujuan membaca. Penegasan hadist tentang perlunya membaca alquran yang berbahasa arab sangat kontekstual. Hadis itu disampaikan Nabi Muhammad pada masyarakat Arab yang memahami bahasa Al Quran. Mereka yang membaca di jaman Nabi Muhammad atau yang saat ini berada di kawasan Timur Tengah, yang menggunakan bahasa arab sebagai alat komunikasi sudah tentu ketika membaca Al Quran otomatis memahami artinya. Secara nilai dan tujuan membaca tercapai.
Dalam konteks masyarakat Indonesia melaksanakan perintah hadist membaca al Quran karena kurang menguasai bahasa arab seharusnya diikuti membaca –sekurangnya- terjemahannya. Bukanlah membaca jika seseorang tak memahami apa yang dibacanya. Ia hanya membunyikan rangkaian huruf yang alih-alih dapat dilaksanakan optimal sementara belum mengerti pesan dan tujuannya.
Terkait dengan pahala –jika memang ingin mendapat pahala- membaca Al Quran dan terjemahannya tidak hanya secara tujuan membaca tercapai, pahalapun berlipat ganda. Sebab nawaitu membaca Al Quran seperti itu diikuti semangat mencari ilmu dengan memahami makna atau sekurangnya arti Al Quran. Jadi jika berpikir ingin mendapat pahala yang jauh lebih bacalah Al Quran dengan memahami artinya.
Diakui atau tidak ada kebiasaan mengembangkan logika pertimbangan kuantitatif dalam membaca Al Quran. Semakin sering membaca sampai hatam Al Quran merasa mendapat pahala jauh lebih besar sehingga membaca beserta terjemahan apalagi tafsir dianggap memerlukan waktu lebih lama akan mengurangi pencapaian mendapat pahala.
Logika ini perlu direkontruksi baik dari segi pemahaman pencapaian pahala maupun dari pertimbangan kebutuhan memahami Al Quran. Bahwa membaca dengan memahami arti Al Quran jauh akan mendapatkan pahala berlipat dibanding sekedar membaca tanpa memahami artinya. Dan membaca Al Quran beserta terjemahan apalagi dilanjutkan tafsirnya merupakan proses riil mengembangkan peningkatkan kualitas keterikatan keagamaan ummat Islam.
Perlu dikaji lebih kritis kebiasaan tadarus yang dimaknai secara salah sekedar membaca. Bukan hal luar biasa jika tradisi yang sebenarnya kurang sejalan nilai pengembangan keilmuan Islam sebagai bagian dari upaya menjauhkan ummat Islam dari Al Quran, yang merupakan pedoman hidup ummat Islam.
Perlu ada upaya gerakan membaca Al Quran dengan –minimal terjemahannya- agar ummat Islam mengetahui kandungan kedasyatan Al Quran. Pemahaman sederhana itu akan membangkitkan kecintaan dan kebanggaan serta diharapkan tumbuh kesungguhan ummat Islam menjadikan Al Quran sebagai pedoman hidup keseharian. Dengan pemahaman kelengkapan aturan hidup dalam Al Quran ummat Islam diharapkan pula tak lagi menjadi obyek permainan kepentingan apapun.
Di moment Ramadhan ini perlu ada pelurusan tradisi dengan mengembalikan aktivitas tadarus sesuai maknanya yaitu membaca, memahami, mengkaji, meneliti Al Quran –setidaknya membaca terjemahannya untuk kemudian dilaksanakan dalam kehidupan keseharian. Jauh lebih bermanfaat dan insyaa Allah akan mendapat pahala lebih besar membaca disertai memahami terjemahannya walau katakanlah hanya beberapa juz dibanding membaca sampai hatam, 30 juz sementara tidak mengetahui makna/arti Al Quran.