Usai Mahathir Mohamad memenangkan pemilu di Malaysia sebagian masyarakat dan terutama politisi yang berada di luar kekuasaan seperti merasa mendapat angin segar. Kemenangan Mahathir seakan menjadi tanda kemenangan kekuatan oposisi di negeri ini. “Efek Mahathir diyakini akan terjadi di negeri ini,” tutur beberapa politisi dari partai yang berada di luar kekuasaan.
Sah saja klaim atau memanfaatkan momentum apapun untuk kepentingan politik. Memang begitulah watak dan karakter politisi untuk selalu memanfaatkan ruang sekecil apapun. Bahkan seandainya tak ada kesesuaian keadaan selalu diupayakan untuk dipaksakan agar sesuai. Termasuk menggunakan berbagai cara melalui plintiran opini dan sebagainya.
Kemenangan Mahathir misalnya, dipaksakan agar merembes pula ke negeri ini walau dari sisi apapun kondisinya berbeda. Kemenangan Mahathir sangat bisa dipahami karena pemerintahan sebelumnya banyak terjebak masalah termasuk pula kasus korupsi yang diduga menimpa mantan Perdana Menteri Najib Tun Razak.
Bagaimana di negeri ini? Sudah jelas bertolak belakang. Mahathir bisa menang karena pemerintahan sebelumnya memang bermasalah. Sementara di negeri ini, pemerintahan Presiden Jokowi, terlepas ada kekurang praktis tak ada masalah berarti. Berbagai informasi masalah yang diarahkan pada pemerintahan sekarang lebih banyak sekedar lontaran tanpa dasar dari kekuatan politik yang berada di luar kekuasaan. Jadi salah kaprah jika kemudian menganggap situasi Malaysia sama dengan situasi di negeri ini.
Barangkali menarik mencermati dinamika media sosial terkait kemenangan Mahathir. Beberapa akun media sosial termasuk group-group whatsapp mengedarkan video Mahathir yang digambarkan pemimpin hebat. Lalu, disela video seperti biasa diposting pula komentar “nyinyir” pada Presiden Jokowi. Mahathir dipuji setinggi langit, Presiden Jokowi dilecehkan.
Ironisnya, ketika elite politik dan masyarakat pendukung partai yang beredar di luar kekuasaan menyebarkan video itu, Mahathir sendiri dalam satu wawancara dengan media nasional justru memuji habis Presiden Jokowi. Secara terbuka Mahathir bahkan menegaskan pada saat Indonesia dipimpin Presiden Jokowi negeri Indonesia jauh lebih baik dari Malaysia. Di periode Presiden Jokowi Indonsia, kata Mahathir lebih baik dari Malaysia. Ahai….
Terasa aneh bukan? Mahathir dipuji, Presiden Jokowi dilecehkan, diremehkan oleh sebagian kecil masyarakat negeri ini, padahal Presiden Jokowi dipuji habis-habisan oleh Mahathir Mohammad. Di sini tampak sekali betapa obyektivitas benar-benar menguap karena tertutup kebencian. Benar sekali ungkapan bahwa kebencian memang mudah sekali menutup akal sehat.
Ada lagi fakta menarik perbandingan antara kondisi riil Indonesia dan Malaysia terkait utang kedua negara. Malaysia yang berpenduduk hanya sekitar 31 juta ternyata memiliki utang sebar 3500 trilyun rupiah. Sementara Indonesia yang berpenduduk sekitar 253 juta memiliki utang sebesar 4890 trilyun. Terlihat betapa jomblang perbandingannya. Penduduk Malaysia, yang jumlahnya hanya sekitar seperdelapan penduduk Indonesia utangnya dua pertiga utang Indonesia. Sangat besar sekali utang Malaysia, jika dibandingkan dengan utang Indonesia dikaitkan dengan jumlah penduduk kedua negara.
Mungkin masih banyak data-data yang memaparkan dan menjelaskan tentang prestasi kerja pemerintahan Presiden Jokowi yang tercermin dari berbagai penghargaan internasional disamping apresiasi obyektif dari Mahathir. Karena itu sayang sekali jika karena perbedaan politik, kebencian, sebagian kecil masyarakat negeri ini justru kurang memberikan apresiasi dan bahkan melecehkan.
Benar masih ada kekurangan yang perlu diperbaiki dari pemerintah sekarang; tetapi kekurangan itu tidak seharusnya menutup pikiran obyektif untuk memberikan apresiasi. Jika orang luar begitu obyektif memberikan apresiasi dan pujian, terasa ironis ketika sebagian kecil masyarakat negeri ini masih tertutup pikirannya sehingga masih menilai dengan kebencian dan melecehkan. Sayang, memang.