Oleh: Miqdad Husein
Idul Fitri tahun ini terasa memiliki nilai penting terkait aktivitas kehidupan kemasyarakatan sebagian ummat Islam Indonesia. Ketika ummat Islam baru saja melaksanakan ibadah shaum Ramadlan berbarengan pula dengan tahapan proses Pilkada. Sekitar sepuluh hari usai Idul Fitri, sebagian masyarakat Indonesia akan menyelenggarakan Pilkada serentak.
Lalu apa persambungan Pilkada dengan pelaksanaan puasa dan Idul Fitri? Persambungan langsung memang tak ada. Namun akvitas politik apalagi terkait pemilihan pemimpin berdekatan bulan puasa diharapkan memberi dan menghasilkan warna khusus. Ini terutama terkait keseriusan ummat Islam dalam memilih pemimpin daerah, yang semoga berlanjut pula dalam pemilihan pemimpin nasional pada tahun 2019.
Karena pilkada berlangsung dalam moment pasca Ramadlan -usai ummat Islam berlatih mengendalikan diri dari berbagai perbuatan mudharat, diharapkan mengurangi dan kalau mungkin menghentikan sama sekali praktek politik uang. Ummat Islam yang akan memilih harus ingat bahwa menerima uang untuk seseorang adalah praktek suap yang dilarang keras. Ancamannya tidak main-main: penyuap dan yang disuap akan masuk neraka.
Sayang kan puasa dalam sebulan harus berantakan karena uang seratus dua ratus ribu. Ibadah selama sebulan dapat menguap tanpa bekas dan hanya meninggalkan kelelahan lapar dan haus serta berbagai pembiayaan yang tidak kecil selama pelaksanaan puasa.
Lalu, kejernihan berpikir yang lebih berpeluang berkembang pasca ummat Islam melaksanakan ibadah puasa diharapkan memberi warna sikap politik dalam memilih pemimpin. Ummat Islam tidak lagi terseret berbagai provokasi menyesatkan informasi hoax. Ummat Islam mampu menahan diri untuk mengembangkan kejernihan berpikir, mampu meneliti informasi apapun serta tidak menyebarkannya tanpa pijakan pemahaman.
Penyebaran informasi di tengah Pilkada yang sering berkonten hoak diharapkan –usai ummat Islam berpuasa- tersaring atau terseleksi dengan baik. Tidak langsung dipercaya, dilakukan tabayyun serta menghindari perilaku main sebar.
Yang tak kalah penting kecerdasan dalam memilih pemimpin dengan tidak hanya sekedar memilih pemimpin beragama Islam -walau bisa dipahami jika ummat Islam memilih pemimpin beragama Islam. Konteksnya rasional, tidak sebatas hanya beragama Islam. Harus Islami, berperilaku amanah, shiddiq, fatonah dan tabligh sebagaimana dicontohkan Rasulullah.
Terakhir, bagaimana menghindari perilaku dan ucapan kasar, kotor, bernuansa kebencian apalagi sampai menfitnah. Ketekunan selama berpuasa yang mengharuskan ummat Islam mengendalikan diri diharapkan mampu pula dilakukan dalam moment Pilkada. Ujaran kebencian, fitnah, kampanye negatif diharapkan tidak berkembang karena kesadaran dan pemahaman pasca menjalankan ibadah puasa.
Puasa yang diyakini merupakan madrasah ruhaniah, diharapkan menyuntikkan kesegaran moral politik dalam pelaksanaan Pilkada. Jika nilai-nilai puasa ini benar-benar mewujud dalam perilaku politik akan memberikan pengaruh luar biasa terhadap pengembangan kehidupan demokrasi di negeri ini. Masyarakat muslim Indonesia insya Allah akan dapat mengembangkan kehidupan demokrasi sehat, yang berlandaskan akhlaqul karimah. (*)