Freeport akhirnya setuju menyerahkan 51 persen sahamnya kepada pemerintah Indonesia. Ini berarti perjuangan pemerintah Indonesia yang cukup lama membuahkan hasil di era pemerintahan Jokowi.
Berbagai respon merebak di tengah masyarakat luas. Sayangnya, persoalan yang menyangkut kepentingan nasional itu oleh sebagian masyarakat dilihat dari aspek kepentingan politik. Akibatnya, masih saja bermuncul nada-nada bernuansa “nyinyir” pada langkah riil pemerintah. Bahkan kalimat-kalimat sarkastispun tak ketinggalan diarahkan kepada pemerintah Presiden Jokowi. Ya bohonglah, ya rugilah, ya bodohlah dan kalimat negatif lainnya.
Padahal Freeport bukan persoalan Jokowi. Bukan persoalan pemerintahan sekarang. Bukan persoalan sempit kepentingan politik dari partai politik. Ini menyangkut kepentingan nasional ketika kekayaan alam negeri ini selama puluhan tahun dikangkangi dan dikelola tak adil. Kekayaan Indonesia tapi dinikmati negara lain dengan pembagian sangat tidak adil.
Memang, ketakadilan karena mentalitas bobrok dari pengelola negeri ini sebelumnya. Yang menghianati kepentingan rakyat Indonesia demi kepuasan pribadi, kelompok dan kepentingan kekuasaan sempit. Kepentingan rakyat dikorbankan dalam durasi waktu sangat lama dengan berlindung dibalik manipulasi pembuatan perundang-undangan.
Karena itu upaya pemerintah sekarang yang menghasilkan kesediaan Freeport memang sangat luar biasa. Bayangkan, dari sebelumnya pemerintah Indonesia hanya mendapat sekitar 9 persen kini naik sampai lebih dari 500 persen. Sebuah keberhasilan yang sungguh sangat luar biasa. Seluruh masyarakat Indonesia seharusnya memberikan dukungan dan membuang perbedaan kepentingan politik. Ketika kepentingan negara dan rakyat terbentang di depan mata, seharusnya perbedaan apapun ditanggalkan.
Namun demikian, disamping perlu memberikan apresiasi kepada pemerintah Jokowi, perlu pula diteliti apa “rasia” dibalik dasar pertimbangan Freeport yang menyetujui penyerahan saham dalam jumlah lebih lima kali lipat itu. Sangat jauh dari rasional sebuah perusahaan raksasa seperti Freeport begitu saja menyerahkan sahamnya apalagi menempatkan sebagai pemilik saham mayoritas.
Pemerintah Jokowi perlu meneliti dengan melakukan investigasi mengapa Freeport melunak dengan perubahan sikap sangat frontal. Sangat mungkin perubahan sikap terkait kondisi komposisi saham sebelumnya, yang dipublik berkisaran di angka 9 persen namun kemungkinan riil, di bawah tangan jauh lebih besar. Artinya, bisa jadi saham 9 persen ke pemerintah Indonesia selama puluhan tahun hanya di atas kertas sementara angka sebenarnya bisa jauh lebih besar namun dikangkangi atau dijadikan bancakan elite politik.
Angka yang dibawa tangan ini, yang perlu diinvestigasi oleh pemerintah pimpinan Presiden Jokowi, siapa yang mengangkanginya selama puluhan tahun. Sebab, sangat tidak mungkin freeport yang mendapat perlakuan istimewa hanya memberikan kepada pemerintah sebesar sekitar 9 persen.
Dengan mencermati berbagai kejanggalan dalam perjanjian Freeport dengan pemerintah di masa lalu, yang menempatkan posisi pemerintah sangat dirugikan, bukan hal luar biasa bila sebenarnya ada hal-hal yang selama puluhan tahun disembunyikan.
Kerja sama yang merugikan pemerintah dalam durasi panjang hampir selalu terkait korupsi para pemegang kekuasaan. Jadi bukan hal luar biasa bila sebenarnya Freeport memberikan angka jauh lebih besar dari 9 persen. Kelebihan itu bisa jadi dijadikan bancakan oleh rezim yang menjadi pemeran proses perjanjian dan pemerintah berikutnya yang membiarkannya.
Freeport dan banyak proses pengelolaan sumber alam di negeri ini menyimpan kemuskilan luar biasa. Blok Mahakam, Blok Natuna hanya sedikit dari pengelolaan SDA di negeri ini yang perjanjiannya sangat merugikan pemerintah dan sudah tentu menimbulkan tanda tanya ada apa sebenarnya dibalik perjanjian jauh dari rasa keadilan itu.
Inilah tugas pemerintah Jokowi selanjutnya agar kejadian sejenis tidak terulang kembali dan pengelolaan SDA benar-benar memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Rakyat perlu memberikan dukungan upaya penyelamatan SDA itu dengan menanggalkan kepentingan sempit dan perbedaan lainnya. Semua bersatu demi kepentingan negara dan rakyat.