Keterikatan keagamaan masyarakat Indonesia yang sering asyik dalam seremonial ubudiyah ternyata merembes pula ke wilayah politik. Gempita dan kehebohan di pentas politik sangat terasa termasuk pada pelaksanaan Pilkada beberapa hari lalu.
Yang menyedihkan, kebiasaan berheboh ria alias berseremoni meriah pada setiap moment politik itu seperti juga kehidupan keagamaan selalu menyisakan persoalan besar. Aktivitas politik hanya bergairah secara artifisial alias hanya di wilayah permukaan. Subtansi dan hal-hal yang seharusnya diseriusi kadang terabaikan serta terlupakan.
Simaklah menjelang Pilkada serentak 2018. Walau tak seheboh Pilkada 2017 yang panas membara khususnya di Jakarta, tetap memperlihatkan kegaduhan tergolong mencengankan. Di Media sosial seperti twitter, facebook saling serang, saling hujat antar pendukung terjadi setiap saat. Media komunikasi ponsel melalui grup-grup whatsapp bukan hal luar biasa bila dipenuhi komentar, foto saling menjagokan para kandidat yang didukungnya.
Karena masih bermain di wilayah permukaan tak usah heran bila kegaduhan dan kadang ketegangan jauh dari perbincangan persoalan konsepsi, visi misi serta program para kandidat. Yang menyedihkan lagi sering muncul black campaign, fitnah, plintiran sosok yang dianggap lawan. Lebih memprihatikan lagi kadang berbagai kelakuan buruk itu menggunakan simbol-simbol suci agama. Beberapa tokoh agama juga tak ketinggalan terseret dalam peran yang jauh dari proporsional. Bukannya mencerahkan dan membimbing umat tapi justru menyuntikkan ketegangan di kalangan umat karena keberpihakan yang menimbulkan pengerasan kebanggaan dukungan di tengah masyarakat.
Penekanan atau lebih tepat keasyikan “bermain” di wilayah permukaan itu akhirnya mencapai titik klimaks saat berada di bilik suara. Gegap gempita, energi besar, ketegangan antar pendukung seakan buyar hanya oleh aktivitas pencoblosan berdurasi sekian detik. Selesai. Beberapa hari agak ramai membincangkan hasil perhitungan suara. Juga, selesai begitu KPUD mengumumkan siapa pemimpin terpilih.
Kemudian, kembali rakyat ke dalam kehidupan rutin keseharian. Perdebatan menegangkan, kehebohan luar biasa, perhatian pada perhitungan suara serta kepastian siapa terpilih seakan menjadi yang terpenting. Masyarakat lalu seperti kurang peduli bagaimana sang pemimpin terpilih bekerja menjalankan amanah rakyat.
Ketakpedulian itu akan makin terasa ketika praktek politik uang merebak. Rakyat merasa sudah dibayar, sang pemimpin terpilih merasa sudah membayar. Masing-masing kemudian saling tidak peduli dan seakan tidak lagi saling membutuhkan.
Padahal persoalan kepemimpinan subtansinya justru pada saat pemimpin terpilih mulai bekerja. Di sanalah seharusnya masyarakat baik pendukung maupun yang berbeda dukungan mempeloti kinerja pemimpin terpilih. Mengawasi kinerjanya, mempertanyakan janji-janji kampanyenya serta mengkritisi jika ternyata ke luar dari rambu-rambu hukum.
Ada tanggungjawab bersama baik pemimpin maupun rakyat yang dipimpin. Sama-sama dituntut tanggungjawab. Bedanya, pemimpin pertanggungjawabannya berdua dengan wakilnya, rakyat bersifat kelektif. Bebannyapun sama untuk membawa perbaikan bagi daerah atau bagi negara jika menyangkut kepemimpinan nasional.
Pemahaman dan kesadaran seperti inilah yang harus dibangun serta dikembangkan di tengah masyarakat jika negeri ini diharapkan secepatnya menjadi lebih baik. Ada partisipasi aktif masyarakat ketika pemimpin terpilih menjalankan tugas kepemimpinannya. Terbangun relasi sosial antara rakyat dan pemimpin terpilih sepanjang waktu sehingga terbangun kontrol berkelanjutan.
Ketakanlah seremoni politik memang tak bisa dihindari sebagai bagian dari hiruk pikuk atau kemeriahan proses pemilihan. Namun, subtansinya yaitu partisipasi aktif rakyat ketika pemimpin terpilih mulai bekerja berjalan efektif. Relasi pemimpin dan rakyat yang dipimpin terus berlangsung sepanjang waktu. Dengan demikian dapat diminimalkan berbagai penyimpanan kinerja pemimpin terpilih. Begitulah.