Oleh: MH. Said Abdullah*
Freeport sejak keberadaannya sampai hari ini memang selalu mengundang kontroversi. Karena itu bukan hal luar biasa ketika Presiden Jokowi menegaskan bahwa pemerintah telah berhasil melakukan divestasi dari sekitar 9 persen menjadi 51 persen berbagai perbincangan di tengah masyarakat tak terhindarkan.
Usai perbincangan perhelatan piala dunia masyarakat negeri ini seakan mendapatkan topik baru yang tak kalah menarik. Apalagi ketika berbagai bumbu penyedap bertaburan. Termasuk pula nuansa persepsi dan keberpihakan politik. Walhasil jagad pemberitaan baik media mainstream maupun media sosial dipenuhi perbincangan soal Freeport.
Seperti biasa siapapun seolah merasa mengetahui dan menguasai persoalan Freeport. Mereka yang mengaku selama ini menekuni dunia filsafatpun, sebuah keahlian yang jauh dari kaitan subtansi persoalan Freeport tergoda memberikan tanggapan. Sejatinya banyak kalangan terjebak merasa seakan memahami keseluruhan persoalan Freeport lalu memberikan tanggapan jauh dari proporsional.
Dalam acara Indonesia lawyers club (ILC) Selasa kemarin disamping menegaskan nilai “seksi” Freeport juga memperlihatkan tentang keterjebakan atau terpancingnya masyarakat memberikan pandangan tanpa memahami secara memadai. Beruntung seorang Rhenald Kasali, ahli dan praktisi bisnis yang menjadi gong di acara ILC mengingatkan secara diplomatis melalui pernyataan tentang urgensi kompetensi. Sebuah sindiran tajam yang mengingatkan pentingnya kemampuan dan keahlian sesuai bidang dalam memberikan pandangan soal Freeport.
Rhenald Kasali sempat mengingatkan pula bahwa membahas persoalan Freeport memerlukan kompetensi sangat serius. Berbagai persoalan teknis dan hukum menyangkut Freeport sangat kompleks memerlukan kompetensi tinggi untuk dapat memahami secara utuh.
Beliau agaknya seperti ingin mengingatkan beredarnya komentar terkesan hebat yang mempertanyakan mengapa tidak menunggu berakhirnya kontrak di tahun 2021 agar pemerintah tidak perlu mengeluarkan uang. Tentu komentar ini memperlihatkan cara pandang penyederhanaan masalah serta ketaktahuan keseluruhan persoalan. Padahal jika harus menunggu kontrak Freeport berakhir di tahun 2021 berbagai perangkat perusahaan tak akan diserahkan gratis kepada pemerintah Indonnesia. Paling tidak pemerintah harus merogoh kantong sebesar 6 milyard US dollar atau sekitar 84 trilyun rupiah untuk menguasai seluruh perangkat Freeport. Belum lagi keharusan mengganti instalasi listrik senilai sekitar 2 trilyun. Itu baru persoalan yang masih belum menyentuh seluk beluk teknis perusahaan serta pasal-pasal perjanjian yang mengharuskan pemerintah Indonesia merogok kocek lebih dalam.
Namun demikian tidak berarti masyarakat luas terlarang memberikan berbagai tanggapan. Sangat wajar persoalan Frerport yang sejak berdirinya di Provinsi paling Timur itu berada dalam pusaran kepentingan menggoda masyarakat memberikan perhatian. Konteks pernyataan Rhenald Kasali terutama lebih mengingatkan kalangan elite yang kurang memahami masalah, yang bukan kompentensinya agar lebih cermat dan berhati-hati. Bagaimanapun masyarakat akar rumput akan mudah terombang-ambing berbagai pernyataan yang jauh dari proporsional. Dan keterpancingan masyarakat karena lontaran pernyataan kalangan elite yang kurang memiliki kompetensi itu membuka kemungkinan merebaknya kegaduhan.
Mengutif kalimat bijak Ali bin Abi Thalib, sering kegaduhan masyarakat muncul karena orang-orang yang tidak mengerti masalah ikut memberikan pendapat. Apalagi ketika menyelip pula berbagai kepentingan bernuansa politik yang makin membuka ruang menjauhkan dari subtansi masalah.
Dalam persoalan Freeport akan lebih bijaksana bila memandangnya dari sudut kepentingan nasional. Dengan demikian energi masyarakat akan terfocuskan untuk bersama-sama berusaha merebut kembali “gunung emas” yang selama ini praktis hanya sedikit sekali memberikan manfaat bagi kepentingan negeri ini. Ada baiknya memang, semuanya perdebatan dan pemikiran menyangkut Freeport harus diarahkan pada upaya semaksimal mungkin memprioritaskan kepentingan bangsa Indonesia. (*)
*Wakil Ketua Banggar DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan