PKS mendukung Jokowi, apa mungkin? “Ini politik bung. Tak ada yang tak mungkin dalam politik,” tegas seorang kawan.
Sambil tersenyum sinis kawan itu seperti ingin mengingatkan tentang jargon politik bahwa tak ada kawan dan lawan yang abadi. Yang ada kepentingan. “Jadi mungkin saja, PKS berbalik tiga ratus enam puluh derajat. Yang sebelumnya getol menolak Jokowi berubah mendukungnya,” jelasnya, berargumen.
Belakangan memang berseliweran rumor bahwa PKS ada kemungkinan akan memberikan dukungan kepada Jokowi dalam Pilpres 2019. Rumor itu merebak setelah berkembang kemesraan Ketua umum Partai Demokrat SBY dengan Ketua Dewan Pembina Gerindra Prabowo Subianto.
Pertemuan dua petinggi Parpol berlatar belakang militer itu menguapkan angin politik baru. Berhembus relatif kencang kemungkinan memunculkan duet Capres Cawapres Prabowo Subianto dan Agus Harimurti Yudhoyono.
Belum pasti memang. Namun seperti mungkin saja PKS mendukung Jokowi, bukan hal luar biasa muncul duet Prabowo-AHY. Nah duet baru inilah yang dianggap akan mendorong PKS kemungkinan berubah frontal berbalik arah mendukung Jokowi.
PKS sudah pasti sangat kecewa jika benar terbentuk duet Prabowo-AHY. Sudah lama bersanding dan konon juga menyepakati akan menyandingkan Prabowo dengan kader PKS tentu sangat mengecewakan bila Gerindra meninggalkan PKS.
Apalagi PKS sudah menyodorkan sembilan nama kepada Prabowo untuk dipilih sebagai pendamping. Retorika PKS yang menegaskan agar Prabowo segera memilih sembilan kader yang disodorkan makin menegaskan bahwa Cawapres PKS merupakan harga mati. Artinya, jika bukan kader PKS yang dipilih Prabowo, perkawinan Gerindra-PKS bisa talak tiga.
Atas dasar kemungkinan talak tiga karena kekecewaan sampai diubun-ubun itulah yang jadi dasar kemungkinan PKS berbalik mendukung Jokowi. Sebuah sikap politik yang tergolong beresiko tinggi baik bagi PKS sendiri maupun jagad politik negeri ini.
Bagi PKS, jika benar mendukung Jokowi akan menimbulkan reaksi luar biasa di internal kadernya. Betapapun garis komando jaringan PKS sangat kuat namun berbalik arah mendukung Jokowi akan menjadi goncangan setingkat gempa di atas 9 skala Richter.
Bagaimanapun mudah mencermati jurang jarak yang digali PKS dengan Jokowi sangat dalam. Menutupi jurang yang terlalu dalam itu memerlukan kerja luar biasa. Bukan hal luar biasa sikap frontal PKS bila memicu eksedus besar-besaran kader meninggalkan PKS.
Resiko jauh lebih mahal dari sikap PKS adalah merebaknya kemungkinan ketakpercayaan masyarakat kepada elite politik yang potensial memunculkan apatosi politik. Bisa dibayangkan sebuah jarak yang dibentangkan sangst lebar kadang diwarnai bumbu-bumbu bernuansa keyakinan keagamaan tiba-tiba berbalik arah berubah mendekat.
Benar perubahan frontal itu katakanlah hanya dilakukan PKS namun sulit diingkari bahwa jarak lebar yang ditempuh PKS dengan Presiden Jokowi sudah menyebar di tengah masyarakat. Akan mudah memunculkan kekecewaan masyarakat yang menganggap elite politik seenaknya berubah sikap manis ketika sebelumnya sangat kencang menyebarkan menanamkan kepahitan. Yang sebelumnya teriak minta ganti presiden tiba-tiba berubah mendukung. Apa kata dunia.
Pilihan sikap paling rasional dengan tingkat resiko relatif kecil untuk mengobati kekecewaan ditinggalkan Gerindra adalah PKS bersikap netral pada Pilpres mendatang. Elite PKS memang kecewa tapi tak akan terlalu mengecewakan kader dan simpatisannya. Bahkan kekecewaan itu bisa dijadikan amunisi untuk meraih simpati masyarakat. Masyarakat luas juga akan menganggap sebagai dinamika politik biasa sehingga tidak merebak potensi apatisme politik.
Jika benar PKS ditinggal Gerindra mungkin sudah saatnya PKS kembali mengingat pesan Nabi Muhammad bahwa jika cinta atau benci jangan berlebihan. Sisakan cinta di antara rasa benci demikian pula sisakan benci di antara rasa cinta. Apalagi di dunia politik, yang praktis tak mungkin berlaku segala sesuatu sebagai harga mati.