GROBOGAN, koranmadura.com – Memasuki tahun politik, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj menyatakan bahwa dirinya tetap konsen pada kapasitasnya sebagai kiai. Ia tidak mau ikut-ikut walaupun namanya pernah digaungkan sebagai sosok salah satu cawapres pendamping Joko Widodo (Jokowi).
“Saya ini etok-etok e kiailah. (Pura-puranya kiai). Yang saya kuasai ngaji agama bisalah. Sejarah budaya, sejarah Islam, filsafat Islam. Tapi kalau untuk jadi politisi, jadi wapres, apa pantes? Apa ada potongan, ya?” ujar Said saat menghadiri acara Halal Bihalal di Mapolres Grobogan, Jumat (6/7/2018).
Acara tersebut bertajuk Tabligh Akbar dan Halal Bihalal Ulama dan Polres Grobogan dalam rangka Hari Bhayangkara ke-72 Tahun 2018.
Said menuturkan kalau masalah politik, dia mengaku kalah dengan orang-orang yang puluhan tahun berpolitik. Kalau ngaji, dia mengaku menang. Lantas bagaimana kalau ternyata Jokowi memilih namanya?
“Pinang aja dulu. Bicara politik itu tak ada kata ‘kalau’. Datang aja dulu. Pinang dulu, baru saya pikir. Sekarang tidak saya pikir. Saat ini saya menjaga konsep besar. Menjaga NU yang saya pimpin dan saya jaga,” imbuhnya.
Dalam kesempatan itu, Said mengenang jika NU punya pengalaman pahit. Tepatnya presiden RI dari NU. Namun tanpa sebab yang jelas, Presiden dilengserkan tanpa pelanggaran yang dilakukan.
Diketahui, sosok itu adalah Presiden Abdurrahman Wahid atau akrab dipanggil Gus Dur. Presiden ke-4 RI itu dilengserkan. Hal itu masih membekas di benak Nahdiyyin.
“Dari situ, NU sekarang tidak boleh melengserkan atau mengganggu pemerintah yang sah sampai lima tahun. Kecuali melanggar konstitusi, melanggar UUD 45, baru kita lengserkan,” ujarnya.
Namun bila presiden melakukan kesalahan, pihaknya berharap rakyat memberi masukan. Bukan malah membencinya. Dia berharap, kader NU harus dinamis, tanggap dengan isu sekarang.
“Ini era global, era medsos. NU harus dinamis,” pungkasnya. (DETIK.com/SOE/DIK)