Pada 12 Juli 2018, pasukan pemerintah Suriah kembali berhasil mengibarkan bendera pertama kalinya di kota Dara’a, kota dimana pertama kali konflik pecah lebih dari 7 tahun. Konflik bermula ketika 15 remaja laki-laki sengaja menyemprotkan cat untuk membuat grafiti di dinding sekolah menengah atas. Di dinding sekolah itu muncul tulisan: “Sekarang giliran Dokter.” Kalimat itu merujuk pada presiden Suriah Bashar al-Assad (Assad). Assad disandingkan senasib dengan presiden Mesir Hosni Mubarak dan presiden Tunisia Ben Ali (Tempo, 12/07/2018).
Akibat perbuatannya, mereka jadi sasaran amarah polisi. Mereka ditangkap, dipukuli, dan kuku jari tangan mereka dicabut. Mereka mendapat siksaan dengan tujuan meminta mengakui perbuatannya. Beberapa minggu kemudian remaja itu dibebaskan dan Dara’a menjadi titik perlawanan bagi pemerintah dengan berbagai gelombang aksi dan protes.
Proxy war
Dengan eskalasi yang terus berlanjut, maka tak heran bila istilah “konflik” jadi pusat perhatian utama. Ditambah keberadaan Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) yang terus menunjukkan eksistensinya. Menguatnya keterlibatan negara asing dan intervensi negara-negara Teluk Arab, menambah luka mendalam luasnya ketegangan baru di wilayah itu.
Hal ini terlihat dari sikap Iran yang mengambil momentum memanfaatkan Suriah menjadikan basis utama menyerang Israel. Seperti diketahui, Iran melancarkan serangan roket terhadap Israel di Dataran Tinggi Golan. Israel-pun bereaksi dengan melancarkan serangan balasan terhadap Iran dengan melumpuhkan pusat pangkalan militernya di Suriah. Sementara sistem pertahanan Suriah menembak jatuh pesawat tempur Israel, F-16.
Istilah ini dalam kaca mata International security disebut sebagai proxy war dimana negara sengaja memperalat negara konflik untuk mengeksploitasi negara lain. Melihat keadaan itu Israel tampaknya tidak main-main menghadapi ancaman yang dilancurkan Iran. Jauh hari Iran melalui ofensifitas milisi militer Hezbollah di Lebanon, juga sempat melancarkan serangan ke wilayah utara Israel. Keadaan makin meluas tatkala pemerintah Israel mengingatkan Iran agar tak berlindung dibalik Suriah untuk menyerang Israel, sekaligus menyerukan khalayak Internasional mengecam.
Sejak revolusi 1979, hubungan Iran dengan Israel dan Amerika Serikat (AS) memang sulit akur. Apalagi setelah rezim mullah Iran bergeming, bahwa Iran tidak akan pernah mengakui eksistensi negara Israel, dan tetap berpendirian bahwa Israel harus dilenyapkan di muka bumi. Pernyataan yang dilontarkan mullah Iran tersebut dibuktikan dengan berbagai bantuan keuangan yang diberikan Iran terhadap milisi di Yaman, Hezbollah di Lebanon, dan tentunya Hamas di Gaza-Palestina guna melawan aneksasi Israel.
Agresivitas Iran terhadap Israel berbanding berbalik dengan negara-negara Arab Teluk yang memiliki hubungan erat dengan Israel dan AS di Timur Tengah. Pemimpin-pemimpin di Arab Teluk bahkan secara terang-terangan melontarkan pernyataan kontroversial, yang mendukung Israel vis-á-vis melawan Iran.
Dikutip dari Jeffrey Goldberg, pemimpin redaksi The Atlantic media AS, Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salam menyatakan bahwa Israel berhak hidup damai di tanah mereka, dan berhak berdampingan dengan bangsa Palestina. Ia bahkan menyebut pemimpin Iran Ayatollah Ali Khamenei tak ada bedanya, memiliki kemiripan dengan Adolf Hitler, sebagai pemimpin nazi-nya Timur Tengah (The Atlantic, 02/04/2018). Begitupun dengan tudingan Menteri Luar Negeri Bahrain, Khalid bin Ahmed Al Khalifa, bahwa Israel berhak membalas serangan yang dilancarkan Iran.
Dalam hal ini, saya bukan membela Iran dan bersifat subyektif terhadap apa yang dilakukan negara-negara Arab Teluk terhadap Iran. Akan tetapi, menyikapi apa yang sebenarnya terjadi dalam realitas nyata. Saya berpendapat sebagai pihak utama Suriah, Iran dan Rusia tampaknya tetap mengindahkan pemimpin negara-negara Teluk itu. Tanpa mendiskreditkan satu pihak.
Di lain pihak, kita harus terbuka bahwa agenda AS di bawah Donald Trump tidak akan tinggal diam melihat tangan kanan mereka, Israel dianeksasi Iran. Karena itu, dibalik kemesraan sesungguhnya terletak pada hubungan Arab Saudi dan AS. Inilah yang saya sebut proxy war dimana negara Suriah hanya dijadikan ladang adu kekuatan perang, atau war bridge-builder.
Konflik yang politis
Struktur konflik geopolitik di Suriah bukanlah hal baru yang mengagetkan kita. Konflik itu membenarkan bahwa konflik bersifat politis. Keterlibatan negara-negara besar adalah karakteristik utama yang menegaskan bahwa konflik di Suriah tidaklah selaras dengan tesis Samuel Huntington (The Clash of Civilization, 1996). Tesis yang menghadapkan Barat melawan Islam, seperti yang diungkapan oleh Andre Avizena Sigit (Kompas, 23/06/2018).
Konflik ini secara keseluruhan adalah lahan pertarungan politik strategis antar-kekuatan regional yang didukung oleh kekuatan global yang memiliki kepentingan masing-masing. Kita rakyat di Indonesia kerap kali hanyut dalam narasi busuk Huntington, bahwa Barat adalah musuh utama Islam atau sebaliknya, membenturkan dengan perbedaan budaya.
Padahal, pusat utama Islam, Tanah Suci adalah sekutu AS. Bahkan Arab Saudi melakukan kerjasama intelijen dengan Israel dalam rangka menghadapi Iran. Jadi masihkah kita menutup mata dan mendewakan tesis Huntington itu? Dari mata pikiran sesungguhnya?
Sementara Iran bersikap anti-AS dan Israel, dan mendukung penuh perjuangan rakyat Palestina merdeka. Arab Saudi dan Iran dua negara yang memiliki pengaruh besar di Timur Tengah. Walaupun Iran getol anti-Barat dan Israel, Iran tidak serta merta dapat dukungan dari kelompok Islamis (negara Islam). Ironisnya, Iran justru dijadikan musuh utama oleh negara yang mayoritas penduduknya Islam, karena Syiah sama halnya Assad di Suriah.
Dengan demikian, struktur konflik Timur Tengah jadi gambaran bagi kita bahwa konflik itu politis, dan bukan konflik antara bedanya budaya Barat dan Islam atau Sunni dan Syiah, tapi karena adanya kepentingan yang bersifat politis dan strategis. Direpresentasikan sebagai wujud pembenar konflik. Karena masa depan Suriah dan Timur Tengah secara keseluruhan tergantung pada kepentingan dari negara-negara inti. Sebab perang muncul dari bawah ke atas, dan perdamaian dapat diatasi dari atas ke bawah. Sengekta global itu nyata!
Oleh: Robeth Fikri Alfiyan, Pemerhati di Centre for Middle Eastern Studies dan Mahasiswa Prodi Imu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).