DENPASAR, koranmadura.com – Saat gempa berskala 7 SR mengguncang Lombok dan Bali, viral di media sosial ada imam di Musala As-Syuhada, Denpasar, Bali masih khusus memimpin salat. Bahkan di video itu, sang imam masih terus membaca surat sembari goyang-goyang.
Seperti yang ditulis oleh detik.com berdasarkan hasil konfirmasi kepada takmir Musala As-Syuhada yang saat gampa menjadi makmum bercerita bahwa kejadian itu terjadi saat rakaat kedua.
“Waktu kita salat itu, di rakaat kedua, sebelum selesai Al-Fatihah kan ada ‘amin’, itu sudah mulai terasa guncangannya tapi masih kecil. Setelah amin, baru keras. Kita takut, baru kali itu guncangannya sebesar itu,” ucap takmir yang tidak mau disebutkan namanya.
Saat salat ia hanya mendengar suara kayu seperti patah. Kemudian juga ia mengaku melihat tenda yang ada di depan musala bergerak. Dia kemudian ke luar musala untuk menyelamatkan diri.
“Waktu itu semua membatalkan salat. Ketika gempanya sangat besar itu, kita semua lari. Sempat berapa lama kita sudah di luar. Saat itu, imam masih baca ayat kursi,” kisahnya.
Namun, saat keluar, ia kembali masuk lagi setelah cuci kaki. “Kita lalu cuci kaki, langsung balik salat lagi,” tambahnya.
Ketika ditanya siapa nama imam yang memimpin salat dengan khusyuk, takmir itu menyebut Arafat. “Namanya Arafat. Dia kadang-kadang datang, kadang-kadang tidak. Dia lagi liburan saja,” ungkap takmir musala tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa’adi menjelaskan bahwa ketika seorang muslim telah memulai salat dengan takbiratul ihram, maka haram hukumnya membatalkan salat. Kecuali, kata Zainut ada halangan yang boleh membatalkannya. Termasuk ketika terjadi gempa, maka orang itu wajib membatalkan salatnya supaya selamat dari bahaya.
“Sebagian besar ulama memfatwakan wajib membatalkan salat pada sebagian keadaan, seperti saat menolong yang sedang kena musibah, menyelamatkan yang tenggelam, gempa, memadamkan api, atau membatalkan salat karena untuk menyelamatkan anak kecil atau orang buta yang akan tercebur sumur atau kobaran api,” kata Zainut Senin 6 Agustus 2018.
Jawaban Zainut tersebut berdasarkan pendapat sebagian besar ulama yang didasari dari sunah Nabi Muhammad SAW. Kemudian ia menjelaskan tiga hal saat terjadi halangan yang membatalkan salat.
Tiga hal orang boleh membatalkan salatnya adalah:
1. Kekhawatiran terhadap keselamatan diri sendiri, misalnya karena ada serangan manusia atau binatang atau karena gempa, atau bencana lainnya.
2. Kekhawatiran terhadap keselamatan harta, misalnya ada orang yang mengambil barang kita.
3. Menyelamatkan orang lain yang butuh pertolongan segera. Misalnya, seorang dokter diminta melakukan tindakan darurat terhadap pasien.
Ada pula kondisi yang dianjurkan bagi umat Islam untuk membatalkan salatnya, yakni saat ada keinginan buang angin. Bila sudah buang angin, tentu saja salatnya sudah batal. Bila ada hal yang mengganggu kekhusyukan seperti itu, salat dianjurkan untuk dibatalkan.
“Jadi pada prinsipnya orang tidak boleh membatalkan salat, kecuali karena ada uzur syari, yaitu berkaitan dengan keselamatan diri sendiri, harta, atau orang lain, dan terkait kekhusyukan salat, seperti membatalkan salat karena keinginan untuk buang hajat atau berhadas,” tutur Zainut. (DETIK.com/SOE/DIK)