Munculnya apa yang disebut Ijma’ ulama yang mengarahkan pada pilihan politik menimbulkan perdebatan tentang kejelasan sikap ulama di tengah belantara politik. Sangat terasa dari hasil pertemuan sebagian alumni demonstrasi 212 itu kekaburan antara predikat ulama dan perilaku politisi
Sebenarnya sah saja ulama dan kiai berpolitik. Tak ada masalah. Bukan hal luar biasa. Apalagi ajaran Islam tak membedakan agama dan politik. Agama dan politik dalam konsep Islam disebut Yusril Ihza Mahendra seperti gula dan manisnya. Tak bisa dipisahkan. Namun demikian tetap perlu kejelasan sikap dan posisi kapan seorang berstatus sebagai ulama, kiai atau politisi.
Ketika seorang ulama terjun dalam politik sejatinya ia memperluas perannya menjadi seorang politisi. Sudah tentu sikap dan pikirannya bukan lagi sebagai ulama tapi politisi. Keulamaannya menyempit terhadap keberpihakan, sebut saja menjadi semacam partisan.
Tentu berlainan dengan ulama yang tak berpolitik. Ia adalah cendikiawan, ilmuwan, yang memberikan pencerahan kepada seluruh umat. Ia memayungi kepentingan seluruh umat tanpa batas-batas perbedaan pilihan politik. Ia tidak berpihak kepada pilihan tertentu tapi hanya memberikan pencerahan bagaimana seharusnya memilih ketika ada sebuah proses politik pemilihan pemimpin.
Menjelang tahun politik sekarang ini, masyarakat selayaknya mendapat hak kejelasan terutama terkait perilaku seorang yang mengaku ulama juga intelektual tapi sikap dan pikirannya sepenuhnya bernuansa politik. Mengaku ulama dan intelektual tapi bersikap sebagai politisi.
Munculnya ijma’ ulama untuk mengarahkan umat memilih sosok tertentu apalagi dengan menyebut secara jelas nama dan partainya adalah contoh ketakjelasan. Bisa jadi pada taraf tertentu lebih merupakan manipulasi politik. Berbaju ulama tapi bersikap dan berperilaku sebagai politisi.
Sah saja sebenarnya sekelompok orang memberikan dukungan atau mengarahkan masyarakat memilih sosok tertentu. Tetapi selayaknya sikap keberpihakan itu tidak mengaburkan identitas. Tak perlu malu-malu mereka yang mengaku ulama untuk menegaskan diri terjun ke dunia politik dan menunjukkan diri sebagai politisi agar masyarakat mengetahui secara pasti.
Terkait Ijma’ ulama, mengatasnamakan seluruh ulama saja sudah merupakan kesalahan logika. Apalagi ketika klaim sebagai ulama diteriakkan tapi ternyata sikap dan pemikiran terlihat riil sebagai politisi. Dua kesalahan fatal terpapar jelas.
Kasus Rocky Gerung mungkin bisa menjadi contoh aktual lainnya tentang sikap mendua. Ia dalam acara ILC diposisikan dan bahkan memposisikan diri sebagai akademisi, sebagai intelektual. Tetapi masyarakat negeri ini mengetahui seluruh pernyataan Rocky Gerung mencerminkan politisi. Ia berpolitik dengan berbaju seakan akademisi.
Seperti politisi berbaju ulama, sikap Rocky Gerung yang berpolitik berbaju akademisi itu kurang memberikan pendidikan politik kepada masyarakat negeri ini. Bahkan, sebaliknya bisa menjadi proses penipuan dan pembodohan. Masyarakat seakan mendapat penjelasan akademis padahal seluruhnya merupakan sikap politik.
Tidak salah bila beberapa kalangan meminta Rocky Gerung agar bersikap fair menempatkan diri sebagai politisi. Apalagi Rocky sejatinya adalah seorang praktisi politik karena pernah menjadi pemeran penting pendirian Partai SRI bersama Rahman Tolleng.
Sebenarnya tidak masalah jika berpikir dan bersikap politis asal jelas hitam putihnya. Tak ada yang mempermasalahkan sikap Fadly Zon walau mungkin tidak setuju. Sebab Fadly Zon sikap dan pikirannya jelas sebagai politisi Gerindra yang dalam kehidupan politik negeri ini beroposisi terhadap pemerintah. Jadi wajar saja jika Fadly Zon selalu mengambil sikap berbeda dan seluruh pikiran serta sikapnya sangat politis.
Politik itu “kompetisi” sehingga memerlukan kejelasan siapa kawan dan lawan politik. Memang, kawan bisa menjadi lawan demikian pula lawan berubah menjadi kawan. Namun, ketika kompetisi dimulai semua harus jelas siapa melawan siapa, siapa bersama siapa. Lagi-lagi ini menyangkut pilihan sekaligus mempertegas proses pemilihan karena kompetisi dalam politik pada khakekatnya adalah memilih. Rakyat memilih yang dipercayainya dari beberapa tokoh untuk mengemban tugas kepemimpinan atau mewakili memperjuangkan aspirasinya.