Oleh: MH. Said Abdullah*
Di tengah perbincangan tentang siapa Cawapres dari Pak Jokowi maupun Pak Prabowo menyelinap usulan mendorong Ustad Abdul Somad yang populer dengan inisial UAS untuk mendampingi Prabowo Subianto. Tak pelak, sosok da’i yang sedang naik daun itu seperti memberi bumbu berbeda sehingga perbincangan soal Cawapres bernuansa lebih penuh berwarna.
Yang membuat wacana UAS ini menarik di luar kepopulerannya adalah sosok pengusul bernama Hanum Rais. Bukan soal latar belakang sebagai anak M. Amien Rais dan kekentalan kemuhammadiyaannya tetapi pertimbangan dan latar belakang mendorong UAS. Hanum berargumen data tentang popularitas UAS yang followersnya mencapai kisaran 100 juta. Angka yang memang luar biasa sehingga dianggap jaminan untuk dapat membantu mengalahkan petahana.
Namun demikian, lepas setuju atau tidak dorongan mencalonkan UAS sangat terasa di sini bahwa soal Cawapres disederhanakan seakan seremoni politik. Yang lebih dikedepankan nuansa selebritinya. Karena UAS populer lalu dianggap layak untuk mengisi posisi orang kedua di negeri ini.
Sangat terasa di sini aspek emosional politik dari masyarakat yang dieksploitasi untuk kepentingan kekuasaan. Asal kekuasaan bisa direbut walau memanfaatkan emosi rakyat, tak masalah. Walau rasionalitas masyarakat dibaikan bukan soal.
Dari kajian komunikasi politikpun hanya mengedepankan popularitas jelas bisa terjebak kesalahan logika. Sebab popularitas tidak selalu sejalan elektabilitas. Bisa jadi seseorang begitu dikenal luas namun tingkat keterpilihannya tidak berbanding lurus popularitasnya.
Banyak kasus di dunia politik tentang tidak pararelnya popularitas dengan elektabilitas. UAS sendiri dalam berbagai survei antara elektabilitas dan popularitasnya jauh berbeda.
Yang juga menarik dicermati sikap UAS sendiri. Sosok berpenampilan sederhana itu walau “dipojokkan” untuk menerima pencalonannya sebagai Cawapres tetap menolak dengan sangat tegas. Ia kokoh dengan prinsip penolakannya dan secara tegas mengatakan bahwa sepanjang hidup hanya akan berdakwah dan berdakwah.
Sikap UAS ini menarik karena memperlihatkan kedewasaannya. Ia mampu bersikap rasional dan tidak terperangkap desakan emosional dari tokoh-tokoh yang memojokkan untuk menerima pencalonannya mendampingi Prabowo.
UAS terlihat sekali memahami bahwa dirinya hanya dijadikan sekedar alat politik memuaskan kepentingan merebut kekuasaan. Sudah tentu UAS yang kualitas intelektualnya mumpuni dan memiliki kematangan berpikir mampu mengukur kapasitas dan spesialisasi keahliannya.
Sebagai seorang tokoh agama tak seorangpun meragukan kemampuannya. Namun UAS menyadari bahwa wilayah politik dan kepemimpinan disadari bukan bidang keahliannya. Karena itu secara tegas UAS menolak atas dasar apapun yang mencalonkan sebagai Cawapres.
Sebagai ulama, UAS agaknya sangat memahami apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah. Bahwa bila satu bidang ditangani orang yang bukan ahlinya, tunggu kehancurannya.
Terlihat sangat jelas perbedaan sikap Hanum Rais dan M. Amien dengan UAS. Hanum dan M. Amien Rais lebih mengedepankan dan memanfaatkan emosi politik masyarakat sedang UAS dengan integritasnya menjadikan rasionalitas dan moralitas politik sebagai landasannya bersikap.
Bangsa Indonesia sungguh beruntung mendapat pelajaran berharga dari moralitas dan perilaku UAS. Ia walau bukan politisi memberikan pelajaran berharga bagaimana dalam berpolitik harus lebih mengedepankan moral dan sikap rasional.
*Wakil Banggar DPR RI