JAKARTA, koranmadura.com – Untuk mengatasi ketimpangan kapasitas penjara dengan jumlah narapidana dan tahanan, sebaiknya mereka yang terkena kasus tindak pidana ringan (tipiring) tidak harus dipenjarakan.
Hal itu diungkapkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly. Menurutnya, hakim dan aparat terkait dapat memberlakukan restorative justice atau jenis hukuman lain yang lebih produktif.
“Kita ini sekarang gembira memasukkan orang ke penjara, dan masyarakat kita menjadi sangat punitive, suka menghukum orang,” katanya, Jumat, 3 Agustus 2018.
Ke depan, dia berharap, agar kasus-kasus tipiring tak perlu masuk penjara, tapi bisa diminta berdamai, saling memaafkan, atau dengan kerja sosial di panti-panti dan aktivitas lain yang lebih produktif.
Sebab, dengan memasukkan semua kasus penjara, pada akhirnya sangat memberatkan negara dan malah berpotensi membuat seseorang lebih buruk. “Memasukkan mereka ke penjara itu memberatkan negara. Harus bayar makannya, listrik, air, petugas, dan lain-lain. Itu tidak murah,” jelasnya.
Saat ini, dengan alokasi makan Rp 15 ribu per hari untuk setiap napi, dengan jumlah 250 ribu napi dan tahanan, anggaran yang dihabiskan mencapai Rp 1 triliun. Padahal anggaran sebesar itu bisa digunakan untuk pembangunan di bidang lain yang lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Salah satu ironi yang terjadi di sejumlah penjara di Tanah Air, kata Yasonna, penghuninya 50-60 persen adalah kasus narkoba. Anehnya, dari jumlah itu, kebanyakan masuk kategori bandar dan kurir atau pengedar. Sedangkan napi pengguna narkoba cuma sekitar 20 ribu orang.
“Ini tidak logis. Masak jumlah tokoh atau penjual lebih banyak ketimbang pembeli. Ini karena ada salah penerapan (pasal) UU di lapangan, yang pemakai bisa jadi pengedar dan sebaliknya,” paparnya.
Dia sependapat dengan mantan Kepala BNN Komjen Anang Iskandar bahwa pemakai narkoba itu harus direhabilitasi, bukan dipenjara. Sayangnya, saat ini rehabilitasi lebih banyak dikenakan pada public figure ketimbang masyarakat biasa. Hal ini kemudian menimbulkan sinisme di masyarakat karena dirasakan diskriminatif.
Padahal, pada 2015, Yasonna mengaku pernah menawarkan program rehabilitasi massal untuk narapidana kasus pemakai narkoba. Jumlahnya saat itu sekitar 20 ribu orang. Presiden dan Ketua Mahkamah Agung telah memberikan persetujuan. Tapi batal terlaksana karena terjadi pergantian Kepala BNN. “Kepala BNN yang baru waktu itu pendekatannya lebih ke represif,” ujarnya. (DETIK.com/ROS/DIK)