SUMENEP, koranmadura.com – Kabupaten Sumenep tidak hanya menjadi sentra produksi garam di Madura. Setidaknya ada 32 sumur migas di kabupaten ini. Dari jumlah itu, baru tujuh sumur yang sudah ditawarkan ke investor dan empat di antaranya mulai beroperasi. Dan dari keempat ladang, setiap harinya, lebih dari 450 juta metrik ton gas disedot dari perut bumi kabupaten paling timur Pulau Madura itu.
Yang masih dalam proses kajian seismik untuk melihat jenis dan kandungan migasnya, antara lain Perairan Masalembu tiga sumur, Perairan Pasongsongan satu sumur, dan dua sumur di daratan antara lain di Kecamatan Pasongsongan dan Pragaan. Selebihnya, masih proses tender dan penawaran ke investor.
Menjadi polemik, meski kaya dengan kandungan minyak dan gas bumi, ternyata Kabupaten Sumenep tidak bisa menikmati basil kekayaannya secara penuh. Sebab, potensi itu dinyatakan bukan berada di wilayah kerja pertambangan kabupaten tersebut. Namun, berada di wilayah kerja pertambangan Provinsi Jawa Timur.
Sebab meski secara geografis dan administrasi pemerintahan masuk wilayah Kabupaten Sumenep, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 1 / 2006, wilayah kerja pertambangan untuk kabupaten dan kota harus berada di bawah 4 mil laut dari tepi pantai.
“Penentuan itu tidak didasarkan pada jarak sumur dengan pulau kecil di wilayah kami, tapi diukur dari pantai wilayah daratan. Itu yang kami protes,” kepala Bagian Sumber Daya Alam (SDA) setempat, Abdul Kahir, dalam acara diskusi Migas di Hotel C-1 Sumenep, beberapa waktu yang lalu.
Penentuan wilayah kerja pertambangan kata Kahir, sempat menjadi polemik. Sebab sebagian justru berada di dalam batas wilayah Sumenep. Misalnya, Blok Maleo yang berada di utara Pulau Kramat yang menjadi batas wilayah paling selatan di bagian timur Sumenep, atau Blok Pagerungan yang berada di Pulau Pagerungan Besar.
“Penentuan itu tidak didasarkan pada jarak sumur dengan pulau kecil di wilayah kami, tapi diukur dari pantai wilayah daratan. Itu yang kami protes,” katanya.
Dengan kondisi itu, salah satu kabupaten yang memiliki kandungan potensi alam bernilai jutaan dolar itu hanya kebagian dana cotntnunity development (CD) dan pajak bumi dan bangunan (PBB) dengan nilai yang tidak seberapa.
Baca: Polemik DBH Migas, GP Sumekar: Seperti Disembunyikan dari Publik
Padahal, seandainya dinyatakan masuk wilayah Sumenep, pemasukan untuk pendapatan asli daerah tersebut dari sektor minyak dan gas bumi akan besar. Berdasar undang-undang tentang minyak dan gas bumi, daerah penghasil akan mendapatkan bagian 15% dari laba yang diterima pemerintah Indonesia untuk gas dan 30% untuk minyak.
Pemerintah Kabupaten Sumenep sudah mengajukan judicial review terhadap Permendagri Nomor 1/2006 yang menyatakan sumur gas di kepulauan sebagai wilayah kerja pertambangan Provinsi Jawa Timur. Gugatan itu sudah kami ajukan sejak 2008.
Dalam putusan judicial review itu, pemerintah Sumenep dinyatakan kalah dan ladang gas yang sudah mulai beroperasi itu tetap dinyatakan sebagai bagian dari wilayah operasi Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Aktivis Gerakan Pemuda Sumekar (GPS), Imam Arifin, meminta pemerintah setempat terus melakukan upaya pelurusan secara hukum atas masalah tersebut. Agar ladang minyak dan gas Sumenep itu menjadi salah satu sumber pendapatan provinsi, penetapannya harus mengacu pada penghitungan jarak dari batas pantai wilayah daratan.
Butuh Keterbukaan
Selain masalah batas wilayah operasi migas, persoalan lain yang dihadapi masyarakat setempat adalah faktor keterbukaan Dana Bagi Hasil (DBH) migas. Aktivis GPS, Imam Arifin, DBH Migas masuk dalam dana pajak dan non pajak di APBD Sumenep. Namun, sejauh ini, belum ada laporan realisasi dari dana tersebut.
“Meskipun lifting migasnya menjadi milik Provinsi Jawa Timur, harusnya laporan realisasi itu tetap ada,” kata pria yang biasa dipanggil Imam Bongkar tersebut.
Sebab, kata dia, tidak mungkin sebagai wilayah yang, setidaknya, mengalami dampak dari pengelolaan minyak dan gas bumi, tidak mendapatkan bagian. Karenanya, pihaknya meminta agar ada keterbukaan dari pemerintah dalam masalah tersebut.
GPS, kata dia, sangat berharap, pemerintah duduk bersama perwakilan masyarakat dan lembaga pemerhati pembangunan untuk membahas masalah ini. Sehingga, setiap permasalahan yang ada, bisa dipahami bersama dan tidak menimbulkan kecurigaan apapun. (G. MUJTABA/DIK)