PAMEKASAN, koranmadura.com- Dari luar hanya nampak seperti bangunan vihara dengan dua pagodanya yang berdiri tegak. Tidak disangka, di dalam komplek tempat ibadah umat Tri Dharma (Budha, Hindu dan Konghucu) itu juga terdapat dua tempat ibadah untuk agana lain, yakni Musala Baitul Muttaqin untuk muslim dan gereja untuk kaum Nasrani. Meski gereja di komplek tersebut tidak memiliki nama dan hanya ada lambang salib.
Musala berada persis di depan pagar vihara, namun tetap dalam satu komplek. Sedangkan gereja berada di sebelah timur, dekat dengan tempat pagelaran seni serta gedung olahraga.
Itulah Vihara Avalokitesvara, di Desa Polagan, Kecamatan Galis, Pamekasan, Jawa Timur. Vihara Tri Dharma terbesar di Madura dan berada di tengah-tengah permukiman muslim di Dusun Candi, Desa Galis.
Keberadaan musala dan gereja itu, kata pengelola vihara, Kosala, sebagai fasilitas untuk memudahkan keluarga warga vihara yang beragama Islam maupun Kristen. Selain itu, agar pengunjung vihara tidak kesulitan mencari tempat ibadah saat berada di tempat itu.
“Banyak dari keluarga warga vihara yang beragama Islam maupun Kristen. Karenanya kami menyediakan fasilitas tempat ibadah bagi mereka,” kata Kosala.
Meskipun tidak nampak ada kegiatan di dua tempat ibadah itu, namun keduanya nampak terawat. Di musala terdapat sejadah (alas salat) yang terhampar rapi. Kondisinya juga bersih.
“Petugas kebersihan vihara juga bertugas membersihkan dan merawat mushollah dan gereja itu,” jelas Kosala.
Keberadaan vihara di perkampungan muslim itu sudah ada sejak sekitar 300 tahun yang lalu, untuk menampung patung-patung Kerajaan Majapahit.
Konon, sekitar tahun 1400 M keraton Jamburingin (Proppo-Pamekasan) berencana membuat candi sebagai tempat ibadah. Majapahit sebagai penguasa wilayah Jamburingin membantu pembangunan candi dengan mengirim beberapa arca (patung) pemujaan.
Patung-patung tersebut dikirim dengan kapal laut lewat pelabuhan Talang yang berjarak kurang lebih 35 km dari Jamburingin. Namun pengiriman ke lokasi candi gagal karena angkutan rusak. Akhirnya penguasa kraton Jamburingin memutuskan untuk membangun candi di sekitar pelabuhan Talang.
Dalam waktu bersamaan, agama Islam yang mulai tersebar di daerah Pamekasan mendapat sambutan baik dari penduduk. Ahirnya pembangunan candi di pantai Talang pun tak terlaksana juga. Patung-patung kiriman dari Majapahit ditinggalkan orang, terbengkalai dan lenyap terbenam tertimbun tanah.
Pada awal 1800-an patung-patung tersebut tidak sengaja ditemukan kembali oleh seorang petani saat menggarap ladangnya. Kemudian Pemerintah Hindia Belanda menugaskan Bupati Pamekasan saat itu yaitu Raden Adullatif Palgunadi yang bergelar Panembahan Mangkuadiningrat I (tahun 1804-1842) untuk mengangkat dan memindahkan patung-patung tersebut ke Kadipaten Pamekasan.
Namun upaya tersebut gagal hingga akhirnya patung-patung itu dibiarkan di tempat ditemukan.
Sekitar tahun 1900 sebuah keluarga keturunan Tionghoa membeli tanah (ladang) dimana patung-patung tersebut berada. Setelah dibersihkan diketahui bahwa patung -patung tersebut adalah patung-patung Budha versi Majapahit dalam aliran Mahayana yang banyak penganutnya di daratan China.
Patung-patung tersebut dikumpulkan dalam sebuah bangunan bercungkup dengan atap daun kelapa. Seiring waktu mulai dibenahi dan jadilah Vihara Avalokitesvara (Kwan Im Kiong) Kelenteng Pamekasan sampai saat sekarang.
Salah satu patung yang berukuran besar ternyata patung Avalokitesvara Bodhisarva merupakan versi Majapahit yang aslinya bernama Kwan Im Po Sat dengan ukuran: tingginya 155 sentimeter, tebal tengah: 36 cm dan tebal bawah: 59 cm.
“Sampai sekarang, vihara ini tetap berdiri dan tidak pernah ada gangguan apapun meski berada di tengah-tengah perkampungan muslim,” jelas Kosala.
Untuk menjaga kebersamaan dengan warga sekitar, kata pimpinan Sanggar Budaya itu, pihak vihara melibatkan pemuda di desa Polagan sebagai pengurus dan pelaksana kegiatan. Bahkan, di tempat itu juga disediakan panggung kesenian yang biasa digunajan oleh warga setempat. (G. Mujtaba/soe/vem)