LAMONGAN, koranmadura.com – Pepaya adalah salah satu buah yang tak hanya segar, tetapi juga menyehatkan. Namun di balik itu, ternyata pepaya juga bisa menghasilkan energi listrik lho.
Berkat kreativitas dari tim KIR SMA Muhammadiyah 1 Babat yang beranggotakan Alfina Umi Maghfiroh (kelas XII IPA2), Dewi Satta (kelas XII IPA-3) dan Novita Febrianti (kelas XII IPA-1), kulit pepaya yang lebih sering dibuang atau menjadi limbah itu dapat ‘disulap’ menjadi baterai untuk menghasilkan energi listrik.
“Ide memanfaatkan kulit buah pepaya menjadi sumber energi berawal dari banyaknya limbah kulit pepaya di pasar yang kami nilai kurang termanfaatkan dengan baik dan menjadi limbah,” kata Dewi, salah satu anggota tim, Kamis, 27 September 2018.
Dewi kemudian menjelaskan, untuk bisa diubah menjadi sumber tenaga listrik, kulit-kulit pepaya dihaluskan hingga menyerupai bubur lalu dimasukkan ke dalam wadah aluminium dengan tinggi 50 mm dan lebar 102 mm. Mereka juga menambahkan tembaga ke dalamnya.
Namun untuk sementara, mereka sengaja menggunakan baterai bekas sebagai wadah ini. “Jadi bentuk wadahnya mirip seperti baterai. Bubur kulit pepaya ini juga berfungsi sebagai pengganti bubuk karbon pada baterai yang selama ini diketahui berbahaya bagi lingkungan,” terangnya.
Menurut Dewi, seperempat kilogram kulit pepaya sudah dapat menghasilkan 5 baterai. Baterai-baterai ini kemudian diujicobakan kepada sejumlah benda elektronik seperti jam beker, jam digital, kalkulator dan lampu LED. “Kalau ujicoba untuk menyalakan beberapa benda tadi bisa sekitar 2 jam,” ungkapnya.
Dijelaskan Dewi, dari hasil penelitian mereka belakangan diketahui bahwa kulit pepaya mengandung asam berupa elektrolit sehingga mampu menghasilkan listrik. Hanya saja baterai ciptaan mereka mempunyai kelebihan, yaitu tanpa mengandung bahan kimia yang ramah bagi lingkungan.
Dewi mengaku butuh waktu tiga bulan untuk menyelesaikan karya ilmiah mereka. “Untuk dapat menyelesaikan karya ini, kami bertiga membutuhkan waktu penelitian selama kurang lebih 3 bulan dan kami tidak menemui banyak kesulitan karena banyaknya bahan yang tersedia,” paparnya.
Biaya yang dihabiskan untuk membuat baterai ini juga tak banyak, hanya berkisar Rp 43.500 untuk setiap baterainya. Perjuangan Dewi dan kedua rekannya berbuah manis. Karya ilmiah mereka berhasil meraih peringkat 2 Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) tingkat nasional yang digelar di Institut Pertanian Bogor baru-baru ini.
“Kami berharap, ke depan kami bisa membuat karya yang lebih baik lagi untuk sekolah kita SMA Muhammadiyah 1 Babat, dan juga untuk diri kami pribadi. Sesuai motto sekolah kami yaitu hobi berkarya, tradisi juara, raih pahala,” tuturnya.
Sementara itu, pembina KIR SMA Muhammadiyah 1 Babat, Emzita Taufiq berharap produk inovasi yang dibuat siswanya tersebut dapat direalisasikan dalam bentuk baterai yang bisa diproduksi secara massal sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat. “Kami masih berupaya untuk menemukan bentuk wadah yang pas agar baterainya ini bisa diproduksi secara massal,” ujarnya. (DETIK.com/ROS/DIK)