Oleh: MH. Said Abdullah*
Meningkatnya nilai mata uang dolar terhadap rupiah merupakan bagian dari rentetan dampak krisis ekonomi di Turki, Venuzela, Argentina dan negara jiran Malaysia. Krisis ekonomi di empat negara itulah yang menjadi faktor utama penurunan nilai rupiah. Ini terjadi setelah Donald Trump memberlakukan kebijakan ekonomi baru dengan menaikkan tarif barang yang masuk ke Amerika Serikat.
Hampir semua mata uang di dunia mengalami penurunan nilai terhadap dolar. Sebuah realitas yang selayaknya dipahami sebagai bagian dari pergerakan ekonomi dunia. Kesadaran pemahaman ini penting agar upaya penyelesaian dan pengurangan dampak dari krisis ekonomi di berbagai negara mengarah pada subtansi persoalan. Termasuk agar setiap langkah mencapai efektivitas optimal.
Sebenarnya bisa dipahami jika ada sedikit kekhawatiran terhadap pergerakan penurunan nilai rupiah. Bagaimanapun penurunan itu sedikit banyak akan mempengaruhi ekonomi nasional. Namun demikian kekhawatiran tak perlu berlebihan sehingga menimbulkan pesimisme.
Kekhawatiran jika memang ada selayaknya diletakkan secara proporsional untuk lebih mewaspadai dan mengantisipasi sekaligus agar upaya pengurangan dampak negatif pergerakan dolar mencapai sasaran. Sebaliknya, bila kekhawatiran sampai mengarah kepanikan upaya mencari solusi akan menjadi lebih sulit.
Bahwa kondisi ekonomi nasional sebenarnya relatif baik. Fondasi ekonomi nasional cukup kuat sehingga akan mampu menghadapi dampak krisis dari negara Turki, Venuzela dan negara jiran Malaysia serta beberapa negara lainnya. Karena itu membandingkan kondisi saat ini dengan kondisi tahun 1998 sangat tidak proporsional. Dari segi penurunan nilai uang rupiah terhadap dolar saja misalnya pada tahun 1998 mencapai hingga 600 persen. Tahun 2007/2008 uang rupiah anjlok 30 persen, tahun 2013 anjlok 21 persen sedang saat ini rupiah hanya anjlok sekitar 9 persen.
Jika dikaitkan kondisi utang Indonesia dibanding negara jiran Malaysia juga sangat jauh perbedaannya. Utang Indonesia dibanding Produk Domestik Bruto (PDB) sekarang ini dalam batas aman yaitu 29 persen. Bandingkan misalnya dengan negara jiran Malaysia yang perbandingan utangnya dengan PDB mencapai 60 persen.
Data dan fakta kondisi ekonomi Indonesia itu selayaknya dipahami dan disosialisasikan kepada masyarakat secara obyektif tanpa menyelipkan berbagai kepentingan politik. Dalam kondisi seperti sekarang ini semua kalangan selayaknya berpikir jernih mengedepankan kepentingan nasional untuk bahu membahu mengatasi seoptimal mungkin dampak dari penurunan nilai rupiah. Terlalu besar resiko bagi kepentingan nasional bila dalam kondisi sekarang ini yang dikedepankan kepentingan politik sekedar untuk meraih kekuasaan.
Seluruh rakyat terutama kalangan bawah akan menjadi korban bila dalam situasi seperti sekarang yang ditonjolkan berbagai perbedaan sikap dan kepentingan politik. Ibarat sebuah perahu yang mengalami kebocoran jika di antara penumpang sibuk berdebat, bertengkar dan bukan bersatu menyelesaikan kebocoran semua penumpang akan tenggelam.
Di sinilah nilai penting memberi pemahaman obyektif tanpa pretensi politik. Masyarakat diajak berpikir jernih dan tenang agar tidak terjebak kepanikan jauh dari proporsional.
Kewaspadaan dan kehati-hatian memang diperlukan disertai ikhtiar serius dari pemerintah bersama seluruh kalangan terkait seperti pengusaha maupun masyarakat lainnya. Perlu dihindari berbagai provokosi bernuansa kekhawatiran bermuatan politik. Saat ini yang diperlukan kebersamaan dengan mengabaikan berbagai kepentingan sekedar untuk meraih kekuasaan. Seluruh potensi bangsa Indonesia selayaknya berpikir bagi kepentingan negara dan rakyat, agar seluruh penumpang perahu bernama Indonesia selamat terhindar dari krisis ekonomi dan dapat menggapai kehidupan sejahtera yang lebih baik.
*Wakil Ketua Banggar DPR RI.