Oleh: MH. Said Abdullah*
Ketika terjadi gejolak penguatan nilai dolar terhadap rupiah beberapa waktu lalu terlihat beberapa perilaku dan pemikiran segelintir elite politik yang sangat memprihatikan. Di tengah upaya pemerintah berusaha keras menstabilkan nilai rupiah, mereka terkesan justru seperti menempatkan diri seperti kerikil dalam sepatu.
Ibaratnya ketika pemerintah sedang berusaha menegakkan fondasi mereka tanpa mempertimbangkan kepentingan seluruh rakyat sibuk mengerecoki atau mengganggu. Lontaran pernyataan yang ditebarkan bukan berupaya menggalang kebersamaan seluruh rakyat malah sebaliknya menghembuskan berbagai kekhawatiran.
Padahal sebagai elite mereka pasti memahami bahwa jika terjadi krisis ekonomi dampaknya sangat merugikan seluruh rakyat. Siapapun yang berada di negeri ini akan terkena dampaknya dan sudah pasti membuat negeri ini mundur.
Dengan tanpa rasa bersalah mereka menebar “teror” psikologis bahwa gejolak yang terjadi memperlihatkan kesamaan saat krisis tahun 1998. Mereka juga menebarkan opini menyesatkan bahwa uang 100 ribu sama sekali tak berharga. “Tempe yang dijual sekarang setipis kartu ATM,” katanya, menggambarkan kekhawatiran suasana dunia usaha kecil.
Sangat luar biasa berlebihan apa yang mereka tebarkan. Hanya demi memuaskan syahwat kekuasaan mereka sebarkan berbagai informasi yang bermuatan mendorong munculnya kepanikan di tengah masyarakat.
Para ekonom berpikiran jernih sekalipun berseberangan dengan pemerintah seperti Faisal Basri, Kwik Kian Gie seperti ingin menjernihkan pemikiran yang diperkeruh segelintir elite politik. Secara tegas dua ekonom itu mengatakan bahwa apa yang terjadi sekarang ini jauh dari kemungkinan seperti di tahun 1998. Berbagai variabel saat ini berbeda sangat jauh dengan apa yang terjadi pada dua dekade lalu itu.
Gejolak penurunan nilai rupiah sekarang ini yang disebabkan dampak krisis di Turki, Argentina, Venuzela dan beberapa negara lainnya seperti dipaparkan para ekonom melalui data obyektif sama sekali tidak memiliki kesamaan dengan kondisi tahun1998. Dari data kasar saja terkait penurunan nilai rupiah sekarang ini dalam kisaran hanya 11 persen sementara pada tahun 1998 bahkan mencapai 254 persen.
Data-data lainnyapun bisa diperoleh dengan mudah yang memperlihatkan perbedaan sangat jauh seperti kondisi politik yang saat ini tak ada masalah. Termasuk jumlah cadangan devisa yang juga sangat berbeda.
Siapapun yang berpikir sehat mengetahui dan memahami bahwa fluktuasi rupiah sekarang ini tak lebih dari arus kecil dari ekonomi global. Karena hanya arus kecil, kapal besar bernama Indonesia yang terkendali dengan baik hanya sedikit mengalami goncangan kecil.
Dalam kondisi menghadapi dampak krisis ekonomi negara lain seluruh potensi bangsa Indonesia, dari kalangan manapun, dari partai apapun harus bersatu, bersinergi. Semua perbedaan kepentingan apalagi yang sekedar bernuansa politik harus dibuang jauh.
Belajar dari moment Asian Games ketika seluruh rakyat negeri ini bersatu mendukung tim Indonesia menghadapi tim negara lain, seperti itulah dalam menghadapi dampak kriris ekonomi negara lain. Ketika kepentingan nasional terbentang di depan mata, jangan lagi ada batas antar siapapun di negeri ini. Semua bersatu sebagai Indonesia. Pertanyaan siapa kita hanya satu jawabnya: Indonesia.
*Wakil Ketua Banggar DPR RI.