SAMPANG, koranmadura.com – Gubernur Jawa Timur terpilih, Khofifah Indar Parawansa berharap Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Kabupaten Sampang tidak menimbulkan efek negatif bagi kondusifitas masyarakat di wilayah itu. Khofifah mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan Pilkada ulang merupakan putusan final yang harus diambil hikmahnya oleh semua pihak yang terkait dengan pemilihan umum.
“PSU ini diharapkan menjadi bagian upaya pembenahan dalam menjunjung proses demokrasi yang lebih baik,” katanya, usai bertemu unsur Forum Pimpinan Kabupaten Sampang di Sampang, Senin petang, 10 September 2018.
Khofifah meminta agar DPT segera dilakukan perbaikan sesuai amar putusan MK. Sebab, dalam pandangannya, permasalahan Pilkada Sampang, salah satunya disebabkan karena DPT yang oleh MK dinyatakan tidak valid dan tidak rasional.
“Di sini kan ada revisi DPT, harus ada coklit ulang. Mudah-mudahan proses perjalanan PSU sesuai dengan keputusan MK yaitu aman, damai dan semuanya membangun proses kebersamaan, sehingga PSU yang akan digelar nantinya berjalan dengan lancar,” katanya.
Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya membatalkan hasil Pemlu Kepala Daerah di Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur dan memerintahkan Pemungutan Suara Ulang (PSU) untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati (Pilbup).
Meski pada saat pelaksanaan, Pilbup bersamaan dengan Pilgub Jawa Timur, namun, MK hanya memerintahkan PSU untuk Pilbup dan menganggap sah perolehan suara Pilgub dari Kabupaten Sampang.
Hakim Konstitusi Suhartoyo memastikan pemungutan suara ulang Pilbup Sampang 2018 tidak serta-merta menjadikan Pilgub Jatim 2018 untuk Sampang dipersoalkan. Pasalnya, selisih perolehan suara pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak dengan Saifulah Yusuf-Puti Guntur Soekarno di seluruh provinsi sebesar 1.389.204 suara alias melebihi DPT Sampang.
“Sehingga apabila dikaitkan dengan pertimbangan signifikansi perolehan suara maka hal tersebut tidak relevan untuk mempersoalkan Pilgub Jatim 2018,” katanya saat membacakan pertimbangan putusan sengketa hasil Pilbup Sampang 2018 di Jakarta, Rabu 5 September 2018.
MK memerintahkan pemungutan suara ulang Pilbup Sampang 2018 karena terbukti telah terjadi manipulasi dalam proses pemutakhiran data pemilih. Dalam pandangan majelis hakim, DPT Pilbup Sampang 2018 sebesar 803.499 tidak valid dan tidak rasional, sehingga pelaksanaan PSU harus diawali dengan terlebih dahulu menyusun DPT baru.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat menilai DPT tersebut tidak logis karena data agregat kependudukan kecamatan (DAK2) atau jumlah penduduk Sampang dari Kementerian Dalam Negeri sebesar 844.872 jiwa. Jika mengacu pada DPT KPU, artinya sekitar 95% penduduk Sampang berusia dewasa.
Padahal, tambah Arief, DP4 Sampang dari Kemendagri hanya sejumlah 662.673 orang yang merupakan jumlah pemilih ril yang semestinya. Menurutnya, tambahan 140.826 pemilih dari DP4 Kemendagri bertentangan dengan akal sehat.
“KPU Sampang tidak menggunakan DP4 sehingga didapat DPT tak valid, tak logis, dan janggal,” ujarnya.
Perlu Perbaikan Sistem di Sampang
Ketua Lembaga Kajian Kebijakan Publik (LKKP) Madura, Elmanduro, mengatakan kasus diulangnya proses pemungutan suara di Sampang kali ini bukan yang pertama kali terjadi. Sebelumnya, kasus yang sama juga terjadi pada saat Pemilihan Gubernur Jawa Timur pada 2008 lalu.
Semestinya, kata dia, jika peran lembaga yang berkaitan dengan pemilu berjalan sesuai fungsinya, hal tersebut tidak akan terjadi. Persoalan DPT, tidak akan menjadi persoalan jika sebelum pelaksanaan pemungutan suara sudah tuntas dan disepakati semua pihak yang terkait denga Pemilu.
“Kenapa masalah ini baru muncul setelah selesai pemungutan suara? Seharusnya ini selesai sebelum waktu pencoblosan. Ini menunjukkan ada sistem pemilu di Sampang yang perlu mendapat perhatian khusus,” katanya.
Di samping masalah DPT, hal yang menjadi pertimbangan majelis hakim hingga menyatakan Pilkada di Sampang harus diulang, kata dia, adanya tingkat kehadiran pemilh di beberapa TPS yang mencapai 100 persen.
“Ini menjadi tidak rasional karena di masyarakat yang tingkat kesadarannya sudah tinggi sekalipun, akan sulit mencapai kehadiran hingga 100 persen. Lihat saja data kehadiran warga pada Pilkada DKI Jakarta dan beberapa kota besar lain. Tidak ada yang mencapai prosentase tersebut,” katanya.
Ia meminta agar KPU dan semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan pemilu di Sampang mengambil pelajaran atas kasus ini. Sebab, pemilu bukan hanya menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah, melainkan bagian inti dari pembangunan lima tahun ke depan. (G. MUJTABA/SOE/DIK)