SUMENEP, koranmadura.com – Hori (35) menjadi salah satu saksi mata detik-detik terjadinya gempa 6,4 SR di Pulau Sapudi, Sumenep, Madura, Jawa Timur, Kamis, 11 Oktober 2018 lalu.
Desa Parambanan Kecamatan Gayam merupakan Desa terdampak Gempa Situbondo yang paling besar diantara desa lain di Pulau Sapudi.
Hori menceritakan saat peristiwa itu terjadi dirinya sedang bermain Handphone sambil tiduran di teras rumahnya. Itu untuk menghilangkan penat usai menyelesaikan beberapa tugas di sekolah tempat ia mengajar.
Tidak lama kemudian mendengar suara gemuruh yang cukup keras. Maklum peristiwa itu terjadi dini hari di saat warga tidak banyak yang beraktivitas, sehingga gemuruh itu cukup jelas terdengar.
“Saat itu sebagian warga menyangka hujan, tapi setelah saya berdiri ternyata bumi bergetar,” katanya saat bincang-bincang kecil dengan media di Sapudi.
Pria yang bertempat tinggal di Desa Pancor, Kecamatan Gayam itu menuturkan setelah dirinya menyadari jika gemuruh itu adalah suara gempa, dirinya langsung masuk ke dalam kamarnya dan langsung membawa anaknya yang sedang tidur pulas.
Selain itu, ia juga membangunkan keluarga yang lain jika terjadi gempabumi. Setelah itu keluarga dan warga yang lain berhamburan keluar rumah untuk menyelamatkan diri. “Getarannya memang keras, tapi tidak terlalu lama. Seingat saya sekitar 10 detik,” ungkapnya.
Getaran itu lanjut Hori, terjadi sekitar dua kali getaran yang cukup keras. “Pertama terasa getaran ke atas ke bawah, baru setelah itu getaran ke samping. Saya bersyukur bencana alam ini tidak lama, seandainya sampai 50 detik mungkin banyak rumah warga yang hancur di sini,” terangnya.
Menurutnya, peristiwa itu bukan yang pertama terjadi di Pulau Sapudi, namun beberapa tahun silam peristiwa serupa sempat menimpa warga di Pulau yang dihuni dua Kecamatan itu. “Dulu kabarnya pernah ada gempa, dan juga banyak rumah warga yang retak. Tapi kayaknya lebih besar saat ini,” jelasnya.
Sejauh ini kata dia tidak ada perubahan di area pemukiman warga, seperti di Sulawesi Tengah yang sampai bumi bergeser dan juga sebagian ambles akibat gempa.
Oleh karenanya mantan aktivis malang itu mengimbau pada masyarakat agar peristiwa itu menjadi koreksi terhadap prilaku sehari-hari dan untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa.
Sejauh ini belum ada kabar warga yang menjadi korban memutuskan untuk meninggalkan bumi kelahiran mereka. Sebagian mereka memilih berada di rumah saudaranya yang berada di Pulau Sapudi.
Sebagian lain tetap bertahan di rumanya namun saat malam hari tidur di teras rumah, serta sebagian lain ada yang tidur di Posko penampungan yang disediakan oleh pemerintah sebagai tempat pengungsian sementara.
Sementara aktivitas warga di siang hari sudah kembali normal seperti biasanya. Warga yang biasa berdagang sudah bisa berjualan, begitupula bagi warga yang menjadi nelayan. Sementara bagi korban yang luka-luka masih dilakukan perawatan medis meski rawat jalan.
“Kita ambil hikmahnya saja, jangan terlalu panik dan tidak mempercayai adanya informasi yang tidak jelas sumbernya atau hoaks,” tegasnya.
Gempabumi Situbondo dengan 6,4 Magnitudo yang dimutakhirkan menjadi 6,3 Magnitudo terjadi pada Kamis (11 Oktober 2018) sekitar jam 01:44:57 dini hari. Daerah terdampak paling parah di Pulau Sepudi Kabupaten Sumenep dengan korban jiwa 3 orang dan 498 rumah rusak serta puluhan warga luka-luka.
Bupati Sumenep A Busyro Karim mengatakan perbaikan kerusakan yang disebabkan gempa ditanggung oleh Pemerintah. Saat ini anggaran sebesar Rp20 miliar dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah sampai di Sapudi.
Sementara proses pemulihan trauma, atau populer disebut trauma healing bagi masyarakat di Sapudi, dilakukan setiap hari. “Untuk pemulihan psikis, sudah kami lakukan setiap hari. Ada petugas khusus yang menetap disini, mereka terdiri dari berbagai unsur ada dari Kesehatan, Dinsos, petugas PKH, dan juga dari Polri dan TNI,” tegasnya. (JUNIAIDI/SOE/DIK)