MAROS, koranmadura.com – Salah seorang mahasiswi IAIN Palu bernama Widya Wati mengaku sangat trauma terhadap gempa meski sudah berada di Makassar, Sulsel. Ia dibayangi rasa taku. Bahkan gempa masih terngiang di kepalanya.
Kemudian ia menuturkan saat gempat gempa disusul tsunami. Bersama ratusan mahasiswa lainnya, Widya mencoba masuk ke masjid kampus. Namun, sebelum masuk, masjid sudah roboh.
“Saat itu, kami mahasiswa baru berkumpul di sebuah aula dan langsung keluar saat gempa. Durasinya cukup lama, saya mau masuk ke masjid, tapi sebelum sempat masuk, masjid itu roboh. Ada beberapa teman sudah di dalam,” kenang Widya saat ditemui di Bandara Sultan Hasanuddin, Maros, Selasa 2 Oktober 2018.
Selang beberapa menit setelah gempa terjadi dan orang berteriak, warga dan mahasiswa berhamburan. Semua barang bawaan, termasuk sepatu yang ia pakai saat itu, dilepas dan berlari ke atas gunung. Gemuruh air laut yang menyapu pantai dan bangunan kampusnya pun masih terus terngiang.
“Kampus kami itu sangat dekat dengan laut. Pas ada yang teriak tsunami, kami semua kembali berhamburan naik ke atas gunung. Sampai-sampai tidak terasa kami berlari itu sudah 10 kilometer. Suara gemuruh itu sangat jelas terdengar,” katanya.
Usai tsunami menyapu bersih Palu hingga menelan korban ribuan, Widya bersama teman-temannya tidak berani kembali ke kampus. Setelah beberapa lembar pakaian dan dokumen ia ambil dari rumah kontrakannya, Widya langsung ke Bandara SIS Al-Jufrie berniat meninggalkan Kota Palu, yang masih terus didera gempa susulan.
“Saya hanya membawa beberapa lembar pakaian dan ijazah saya, langsung ke bandara. Setelah tiga hari menunggu di sana, akhirnya bisa juga terangkut ke sini. Saya sangat bersyukur, tapi saya juga sedih, karena nenek saya di Donggala belum juga ditemukan,” lanjutnya.
Untuk sementara waktu, Widya akan bertolak menuju Sidrap, Sulawesi Selatan, bersama teman kuliahnya yang merupakan warga di sana. Ia juga sudah menghubungi keluarganya di Kalimantan agar menjemputnya di sana. Dia berharap semua korban gempa yang masih berada di bandara Palu bisa segera dievakuasi.
“Kasihan kami di bandara selama beberapa hari. Kurang makan, kurang tidur, dan segala-galanya. Saya berharap, semua korban di bandara itu bisa cepat dievakuasi ke sini, karena masih sering ada gempa kecil yang membuat panik,” ujarnya.
Sejauh ini, pihak Lanud Hasanuddin masih terus melakukan upaya evakuasi korban menggunakan 7 pesawat milik TNI AU, dari Hercules sampai pesawat jenis CN. Pesawat-pesawat itu bolak-balik dari Palu ke Maros mengangkut bantuan dan mengevakuasi korban. (DETIK.com/SOE/DIK)