Oleh: Miqdad Husein
Kasus hoaks penganiayaan Ratna Sarumpaet membuat masyarakat luas terperangah serta heran mengapa tokoh sekaliber M. Amien Rais, Prabowo Subianto, Sandiaga Uno, Fadly Zon, Fahri Hamzah bisa terkecoh. Bukankah mereka deretan tokoh yang memiliki kualitas intelektual di atas rata-rata. Prabowo Subianto bahkan disebut-sebut memiliki IQ tinggi sehingga dianggap mendekati jenius.
Amien Raispun semua kalangan masyarakat terutama warga Muhammadiyah mengetahui kualitas intelektualnya. Fadly Zon tergolong memiliki kemampuan berpikir cukup baik. Seorang mantan wartawan Tempo pernah bersaksi bahwa Fadly Zon cerdas. Sandiaga Uno yang berlatar belakang pengusaha tak perlu diragukan. Seorang pebisnis handal sangat tajam mencermati peluang dan hitung-hitungnya sangat matang. Itu terbukti dari keberhasilan Sandiaga yang tergolong pengusaha sukses.
Mengapa mereka yang kelas intelektualnya hebat terkecoh akting Ratna Sarumpaet? Sulit memang dipahami jika menggunakan nalar lurus. Sebab, drama yang terjadi sebenarnya sama sekali tak terkait kualitas intelektual, track record perjalanan activitas mereka. Coba dibaca twitt seorang Benny K. Harman yang menyebut Presiden Jokowi memelihara preman dan diduga kuat yang meninju Ratna Sarumpaet adalah preman-preman suruhan Presiden.
Jika mengacu pada rekam jejak Benny K Harman twitt itu sangat mencengankan. Beliau mantan Ketua Komisi III DPR RI, yang membidangi persoalan hukum. Dengan pengalamannya beliau sudah pasti memahami persoalan hukum. Tapi aneh bukan, ketika lontaran pernyataannya mencerminkan seakan tak paham hukum. Pernyataan beliau bahkan sudah menyerempet kemungkinan tindak pidana.
Lalu? Apa yang terjadi sebenarnya bisa didekati dari kajian persepsi dan kepentingan. Tidak ada kaitan dengan intelektualitas dan rekam jejak aktivitas. Apa yang mereka lakukan sepenuhnya lebih atas dasar persepsi dan kepentingan. Mirip ketika seseorang disodori makanan kesukaan, respon untuk menikmati sangat cepat. Bahkan ketika perut sedang kenyang sekalipun tetap ingin mencobanya. Bukankah secara logika karena perut sudah kenyang tak mungkin lagi seseorang memaksakan makan? Logika di sini bukan parameternya.
Para tokoh yang terkecoh itu ketika mendapat pengakuan Ratna Sarumpaet langsung disambar. Bukan lagi atas dasar logika sehat. Yang mereka lihat cerita Ratna Sarumpaet mewakili persepsi dan kepentingan mereka tentang pemerintah. Karena itu ketika Ratna Sarumpaet berkoar dianiaya langsung dibenarkan. Persepsi mereka sudah jauh sebelumnya menganggap pemerintah tidak becus, represif, membungkam pendapat yang berbeda. Jadi merasa ada titik temu.
Perasaan merasa kesamaan titik temu makin kuat ketika sejalan kebutuhan menghadapi persaingan kepentingan Pilpres. Mereka menganggap cerita Ratna Sarumpaet adalah amunisi bagus untuk menyerang pemerintah agar rakyat bersikap antipati. Lagi-lagi di sini nalar sehat, tidak lagi berfungsi. Yang merebak kesamaan dengan persepsi dan kepentingan mereka.
Jika nalar masih berfungsi yang dilakukan mengambil langkah hukum. Menyarankan Ratna Sarumpaet segera melaporkan ke aparat kepolisian. Namun karena persepsi buruk dan kepentingan sebagiamana diketahui Fadly Zon justru menghindari polisi dengan alasan ragu kepada kinerjanya. Lagi-lagi di sini lebih memperlihatkan mengedepankan kepentingan memanfaatkan cerita Ratna Sarumpaet.
Mencermati kasus penyebaran hoaks Ratna Sarumpaet jika dicermati sebenarnya menjadi gejala penyakit masyarakat belakangan ini. Masyarakat mudah sekali memposting sesuatu yang belum jelas karena merasa sejalan pikiran, persepsi dan kepentingannya. Kebencian disebarkan karena merasa mewakili kebenciannya. Demikian pula hoaks, fitnah disebarkan lagi-lagi karena sejalan persepsi, kepentingan dan seleranya. Akal sehat tidak difungsikan misalnya untuk melakukan crosceck. Yang penting sesuai selera serta mewakili persepsinya.
Perangkap persepsi, kepentingan dan kesesuaian selera ini menghinggapi siapa saja tanpa memandang kualitas intelektual. Bisa terjadi kepada siapapun walau misalnya memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Intelektualitas tidak berfungsi karena akal sehat terselubung persepsi, kepentingan, kebencian dan selera sempit.
Semoga kasus Ratna Sarumpaet menyadarkan masyarakat tentang bahaya jebakan persepsi tanpa bukti, fitnah, hoaks, ujaran kebencian dan lainnya.