Oleh: Miqdad Husein
Kampanye Pilpres yang dimulai tanggal 23 September dan sudah berjalan sekitar satu bulan lebih terasa agak ganjil. Dua pasangan yang akan maju memperlihatkan kecenderungan seperti membiarkan mengandalkan salah satu dari pasangannya terutama nomor urut dua.
Pasangan nomor urut satu yang lebih banyak menonjolkan Presiden Jokowi masih bisa dipahami. Ini karena Jokowi sebagai petahana sementara Cawapres KH. Ma’ruf Amin memang tak memegang jabatan apapun. Jadi kalau jauh lebih banyak Jokowi yang tampil wajar saja.
Terasa agak membingungkan ketika mencermati pasangan nomor urut dua. Selama ini praktis yang lebih terlihat hilir mudik mendatangi konstituen Sandiaga Uno. Sementara Capres Prabowo hanya sesekali sekedar memberikan komentar tentang berbagai masalah yang menjadi perhatian masyarakat luas.
Jika sebatas persoalan tidak bersama-sama dalam satu kesempatan mungkin bisa dipahami. Ini terkait luasnya negeri ini yang tentu saja memang perlu pembagian tugas. Misalnya Capres di Jawa Timur, Cawapres di Provinsi Sumatra Selatan.
Timbul kesan pasangan nomor dua lebih mengedepankan Cawapres ketimbang Capres. Sandiaga sepertinya dianggap lebih menjual karena penampilan lebih santai dan terlihat lebih enak dilihat secara fisik. Sandiaga juga tampak bergairah mendatangi berbagai tempat. Sebuah gambaran keseriusannya menjadi Cawapres.
Bagaimana dengan Capres Prabowo? Inilah yang terasa menarik dicermati. Prabowo memperlihatkan kesan berbeda dibandingkan ketika Pilpres 2014. Saat ini -itu tadi, seperti membiarkan Sandiaga berjalan sendiri.
Ada yang menduga ini terkait kasus Ratna Sarumpaet, yang diakui sempat membuat Prabowo dan kawan-kawan kecewa. Pasca kasus itu memang agak terasa suara vokal tim seperti Fadly Zon dan lainnya memilih tiarap.
Kemungkinan lainnya mengacu kepada pernyataan founder LSI Denny JA tentang problem 3M yaitu momentum, media, dan money alias logistik sehingga memunculkan nuansa skeptis atau kurang confidence dari Prabowo. Semangat tarung yang biasanya terlihat menurun drastis dibanding Pilpres 2014.
Apakah ini juga terkait hasil polling yang hampir seluruhnya menempatkan pasangan nomor satu, juga masih tanda tanya besar. Perbedaan yang berkisar 20 persen antara Jokowi Ma’ruf Amin dengan Prabowo-Sandi, sebenarnya relatif masih terbuka peluang menang bagi siapapun. Apalagi ketika pilihan menggandeng Sandiaga memperlihatkan kecenderungan kenaikan elektabilitas pasang nomor dua itu.
Masyarakat luas sebenarnya berharap dinamika Pilpres berlangsung semarak dengan tawaran konsep-konsep, program-program dari dua pasangan yang bertarung. Kegairahan dua pasangan itu dengan tampil keempatnya lebih kerap akan makin mendorong rasionalitas pemilih.
Kegairahan dan sinergi seluruh pasangan apalagi bila memperlihatkan kebersamaan dan kekuatan kekompakannya, akan mudah menebarkan optimisme politik kepada masyarakat negeri ini.
Baik Jokowi maupun Prabowo perlu lebih sering tampil bersama pasangannya atau keempatnya sama-sama memperlihatkan kegairahan mengunjungi konstituen di moment kampanye sekarang ini. Masyarakat akan melihat duet itu riil dan tak sekedar pasangan atas dasar kepentingan instan.