Oleh: MH. Said Abdullah*
Kejadian pembakaran yang dianggap bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam acara peringatan Hari Santri di Garut, Jawa Barat memberikan pelajaran berharga tentang betapa ruang sekecil apapun mudah menjadi potensi plintiran untuk digunakan sebagai amunisi kepentingan. Penyebutan sebagai pembakaran ‘bendera tauhid’ merupakan contoh paling jelas. Padahal, jika menelusuri lebih jauh lagi apa yang dilakukan oknum anggota Banser itu sangat jelas mengarah pada bendera HTI.
Sangat sederhana memahami apa sebenarnya yang menjadi titik tolak anggota Banser. Jika mencermati aktivitas dan dinamika Banser selama ini, dalam berbagai pemberitaan, baik di media mainstrem maupun media sosial, kometmen dan konsistensinya sangat jelas mengarah pada perlawanan menghadapi radikalisme dan kekuatan yang dianggap akan mengganggu NKRI seperti HTI.
HTI yang menjadi sasaran anggota Banser, selama ini memang memperjuangan konsep khilafah merupakan Ormas yang dianggap akan mengganggu NKRI. Mereka sangat jelas ingin mengganti sistem negara ini dengan konsepsi khilafah. Karena itu pemerintah secara resmi telah membubarkan HTI bahkan telah mendapat penguatan (legitimasi) dari pengadilan.
Dari sini terpapar persambungan plintiran sehingga pembakaran bendera HTI tiba-tiba berubah diteriakkan sebagai pembakaran bendera tauhid. Seakan-akan anggota Banser menantang dan menolak serta bahkan memerangi konsepsi tauhid; dianggap menista kalimat La ilaaha Illallah Muhammadar Rasulullah.
Sudah pasti persepsi seperti itu jauh dari masuk akal. Apa mungkin Banser yang merupakan anak kandung Nahdatul Ulama menantang dan ingin menghacurkan kalimat suci, yang dalam keseharian merupakan kometmen dan konsistensi keislamannya.
Banser adalah anak kandung Nahdatul Ulama dan siapapun mengetahui bahwa NU merupakan Ormas Islam terbesar di negeri ini. Apa iya Banser yang merupakan ummat Islam ingin menghancurkan dan melawan ruh keislamannya?
Makin jelas persambungan pemanfaatan pembakaran itu untuk sebuah kepentingan. Ada skenario yang ingin mengaduk-aduk emosi ummat dengan plintiran seakan Banser, yang anak kandung NU itu merupakan kelompok yang ingin menantang Islam dengan melakukan pembakaran bendera yang diplesetkan sebagai bendera tauhid.
Dengan anatomi yang sangat jelas itu serta memperhitungkan berbagai potensi masalah yang dapat timbul selayaknya semua pihak yang mencintai negeri ini berupaya menahan diri. Apa yang terjadi di Garut dikhawatirkan membuka ruang dimanfaatkan mereka yang berpikir sempit dan hanya mengedepankan syahwat kekuasaan.
Kenyataan situasi negeri ini sedang menjelang tahun politik. Layaknya tahun politik suasana kehidupan sosial mudah sekali memercikkan ketegangan. Karena itu perlu semua pihak berupaya menjaga suasana agar tetap kondusif sehingga negeri ini tidak terjerumus konflik sosial.
Banser dan siapapun seharusnya mempertimbangkan secara cermat bila menyelenggarakan aktivitas sosial yang melibatkan massa besar. Perlu sikap arif jika beraktivitas sosial melibatkan massa terkait keterikatan keagamaan dan kecenderungan politik.
Sekalipun yang menjadi fokus anggota Banser mengarah ke HTI namun kalimat tauhid pada bendera itu bagaimanapun telah melekat sebagai jati diri dan ruh keislaman. Karena itu bisa dipahami bila sempat membangkitkan emosi sebagian ummat Islam. Apalagi ketika ada dugaan diplintir seakan yang dibakar adalah bendera tauhid walau realitasnya adalah bendera HTI; sebuah ormas yang sudah secara resmi dilarang di negeri ini.
Di luar dugaan bermainnya kepentingan memanfaatkan kejadian di Garut harus diakui pula ada sikap berlebihan dan kecerobohan oknum anggota Banser. Mereka melupakan aspek psikologis keterkaitan ummat Islam dengan kalimat tauhid. Apalagi ummat Islam kadang kurang mengetahui bahwa HTI memang menggunakan kalimat tauhid sebagai benderanya. Sehingga ketika misalnya menolak bendera HTI terkesan berarti melawab kalimat tauhid. Sebuah kesalahan logika yang cukup serius.
Pada akhirnya semua pihak perlu arif, menahan diri, tidak terpancing sikap emosional agar negeri ini tidak terjerumus konflik sosial yang dapat menumpahkan darah dan air mata. Siapapun perlu belajar dari pengalaman negara yang sampai saat ini terjebak konflik seperti Suriah, Afghanistan dan lainnya.
*Wakil Ketua Banggar DPR RI.