Oleh: Achmad Fauzi*
Mereka sangat mudah dikenal di masyarakat, pula mudah ditemui dimana saja, ciri khasnya yang unik dengan berpenampilan apa adanya dan sikap sederhana adalah kultur yang tak pernah luntur. Bangun pagi lebih cepat, tidur malam yang telat adalah kebiasaannya. Tak masalah, sebab mereka sadar berjuang melawan kebodohan jalannya pasti terjal. Meski begitu, suara zikir dari satu kelas ke kelas tetap menggema, mengalahkan suara mesin pembangkit tenaga listrik.
Pun hiruk pikuk suara dari balik bilik yang sempit melengkapi irama perjuangan mereka di pondok, bahkan menjadi hiburan gratis. Suara, doa hingga munajat mereka, terpancar setiap sore dan pagi. Mereka tak pernah mengeluh sedikitpun, yang ada, hanya semangat mengabdi dan menimba ilmu yang suci sebagai bekal hidup di masa depan nanti. Antrean panjang di kamar mandi, desak-desakan di asrama yang sempit, tak membuat mereka pasrah dan putus asa, mereka tetap sabar menunggu. Iya, begitulah deskripsi sederhana jika saya mencoba memaknai sosok santri.
Jika pikir kita sempit, fenomena unik santri itu dianggap biasa dan tidak berdampak apa-apa, namun bagi mereka yang pernah jadi santri, tentu wadifah seperti itu yang justeru membuat mereka berbeda dari manusia-manusia yang lain. Pendidikan semacam itu membuat mereka menjadi orang yang cerdas, kuat dan berkarakter. Bahkan dari wadifah ini pula, calon-calon pemimpin masa depan lahir. Sehingga tak salah, dalam setiap perjuangan bangsa ini, santri berjuang mati-matian demi NKRI. Semangat mengabdi dan patriotime santri tak boleh diragukan. Bersama para kiai, santri tak takut mati. Bagi mereka, berjihad melawan penjajah adalah syahid.
Sungguh, sebuah keputusan yang sangat tepat diambil oleh Presiden Jokowi dengan menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN). Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015 tentang penetapan Hari Santri seolah sudah menegaskan bahwa narasi perjuangan santri harus diabadikan. Kini, setiap tanggal 22 Oktober kita akan melihat herois santri di segala penjuru negeri. Ribuan hingga jutaan santri akan berkhidmat mengingat resolusi jihad dan perjuangan yang mereka gelorakan dulu. Ini semakin mengukuhkan kembali pentingnya peran santri dalam membangun bangsa.
Selama tiga tahun, momentum ini begitu herois dirayakan. Bahkan mengingatkan kita tentang responsif mereka atas fatwa ulama tentang resolusi jihad melawan penjajah. Pondok-pondok pesantren di seluruh Indonesia begitu euforis menyambutnya. Bahkan tak disangka, Peringatan Hari Santri tidak hanya membangkitkan kristal perjuangan para santri, tapi menjadi perayaan yang sungguh monumental.
Kalau boleh saya usul, herois yang ditunjukkan santri di segala penjuru negeri tidak perlu diganjar rekor Muri, karena mereka tak perlu rekor apapun. Yang penting adalah bagaimana Negara hadir dalam mengabadikan narasi perjuangan mereka.
Sebab diakuai atau tidak, selama ini negara abai terhadap kontribusi santri, sehingga perannya kabur dan hilang dari ingatan masyarakat. Padahal rekaman sejarah tentang peran mereka untuk NKRI perlu diputar ulang sebagai upaya restorasi semangat juang santri dalam mengisi kemerdekaan.
Semangat mati syahid di medan tempur dalam melawan penjajah, tentunya harus dicatat rapi dalam lembaran sejarah bangsa. Satu alasan, karena mereka adalah “pahlawan”. Dengan sarung, baju putih dan kopyah yang khas tak boleh hilang, kalau bisa kultur warisan itu terus dipertahankan dan diperkenalkan kembali sebagai satu upaya dalam menumbuh-kembangkan semangat berbangsa di kalangan santri. Selamat Hari Santri Nasional…! Wallahu A’lam.
*(Mantan Jurnalis, saat ini Wakil Bupati Sumenep)