Oleh: Miqdad Husein
“Salahkah saya, jika tak memilih Jokowi dan lebih mendukung Prabowo?” tanya seseorang kepada kawan di sebelahnya. Dengan penuh kedewasaan kawannya menjawab, “Tidak salah. Tak ada yang salah. Itu adalah hak setiap orang,” katanya. “Demikian juga, mereka yang memilih Jokowi. Yang tidak mendukung Prabowo,” lanjutnya.
Jika tak ada yang salah, tanyanya lagi, mengapa mereka yang berbeda pilihan kadang saling menyalahkan. “Mereka yang mendukung Prabowo, seakan kesal saat menghadapi orang lain yang mendukung Jokowi. Demikian, pula sebaliknya,” paparnya lagi.
“Ini lebih menyangkut sikap dan pemikiran yang bersangkutan. Jika ia gampang kesal terhadap yang berbeda pilihan, hampir bisa dipastikan ia mendukung calonnya atas dasar emosi.Tidak rasional. Bisa jadi ia tak yakin dengan dukungannya,” katanya menjelaskan. “Sangat mungkin, ia lebih mengedepankan hal-hal yang kurang didukung data. Pijakan dia mungkin lebih banyak hoax,” tuturnya, mencoba tenang.
“Seorang pendukung yang baik, memiliki dasar berpikir serta berbagai pertimbangan rasional. Alasan memilih dapat dipertanggungjawabkan. Tidak sekedar katanya, katanya. Tapi ada data lengkap,” tutur si kawan, mencoba arif. “Karena bersikap rasional, ia akan menghargai pilihan orang lain, yang mungkin berbeda. Sebaliknya, jika hanya berdasarkan hal-hal tak jelas, hanya senang saja, bersikap emosional, gampang sekali kesal jika ada temannya berbeda pilihan,” tegasnya.
“Tetapi, bukankah boleh saja kita mengajak orang yang berbeda pilihan, agar memiliki pilihan sama dengan kita?” tanyanya lagi. “Ya misalnya, kita merayu, memberikan berbagai penjelasan dan lainnya?” katanya, menambahkan.
“Tak masalah. Boleh saja, mengajak orang lain yang berbeda pilihan agar sama pilihannya dengan kita asal menggunakan cara rasional. Misalnya, memberikan paparan data tentang kelebihan calon yang kita dukung. Juga, menunjukkan berbagai kelemahan pilihannya. Tetapi, lagi-lagi cara dan pendekatan kita rasional. Tidak emosional,” tegasnya lagi.
“Kalau pendekatan kita rasional, kemungkinan dia tertarik. Jika tidak tertarikpun, ia tidak akan marah dan menghargai pilihan kita. Sebaliknya, bila pendekatan kita emosional. Menfitnah calon yang didukung dia, hampir bisa dipastikan bukan diskusi yang terjadi tapi bisa jadi akan terjadi perang kata-kata dan mungkin juga adu fisik,” paparnya, menjelaskan.
“Jadi, di tengah kampanye seperti sekarang ini, bagaimana sebenarnya menjadi pemilih dan pendukung yang baik?” tanyanya lagi. “Sejujurnya, setiap kelompok sekarang ini, saat muncul perbincangan soal Pilpres muncul ketegangan,” tambahnya.
“Ketegangan pilihan itu muncul lagi-lagi karena kita mengedepankan sikap emosi. Mendukung seseorang tanpa pertimbangan rasional. Yang dikedepankan bukan data-data akurat dan rekam jejak calon yang kita dukung serta fakta-fakta lainnya,” jelasnya. “Karena bukan adu data dan fakta, ya akhirnya emosi yang muncul,” tambahnya. “Apalagi bila didasarkan informasi hoax dan fitnah, yang dibuat-buat dengan muatan mengerikan. Seperti isyu bangkitnya komunis, asing, aseng. Indonesia akan hancur misalnya. Ya bawaannya emosi, marah. Padahal tidak ada faktanya,” katanya lagi.
“Ngak masalah tidak mendukung Jokowi. Tapi ada dasar rasional. Ada fakta-fakta dan data-data jelas. Bukan berasal dari informasi hoax dan fitnah. Demikian pula, jika tidak mendukung Prabowo, alasannya juga jelas. Tidak atas dasar hoax. Semua benar-benar atas dasar pertimbangan rasional dan jauh dari kesan emosional,” tegasnya.
Menjadi pemilih dan pendukung yang baik syaratnya satu: kedepankan akal sehat. Buang jauh kebencian. Ketika kebencian menyelimuti pikiran, yang benar dan yang salah menjadi tidak jelas. Semua yang dilakukan dianggap salah. Kebencian menutup akal sehat. Jika sudah benci, berdiam dianggap tak peduli, tersenyum dianggap sinis, tertawa dianggap meledek. Jadi, semua serba salah.