Oleh: MH. Said Abdullah*
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjanjikan jika menang akan menghapus pajak sepeda motor dan memberlakukan SIM seumur hidup. “Karena fungsi motor relatif sangat penting bagi masyarakat, maka wajar jika diberi insentif. Selama ini insentif pajak hanya dinikmati oleh orang-orang kaya, seperti tax amnesty dan lain-lain,” kata Direktur Pencapresan PKS Suhud Alynudin.
Usul PKS itu ditolak keras oleh Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah yang juga merupakan kader PKS. Fahri justru berpikir bagaimana mengurangi penggunaan sepeda motor. Sebab, diakuinya sepeda motor sebenarnya merupakan kendaraan darurat.
Di luar perdebatan dua sosok kader PKS itu usulan penghapusan pajak sepeda motor sangat tidak realistis. Sebagaimana diketahui pajak sepeda motor merupakan pemasukan pendapatan asli daerah (PAD) terbesar. Rata-rata PAD dari pajak kendaraan sepeda motor di seluruh Indonesia mencapai kisaran 50 persen. Bahkan ada yang mencapai kisaran 60 persen.
Logikanya, jika pajak sepeda motor dihapus bagaimana daerah membangun. Bagaimana daerah memperbaiki jalan, jembatan dan lainnya.
Sebelumnya tokoh PKS lain pernah menjanjikan untuk membebaskan bayaran tol. Sempat terkait usulan membebaskan bayaran total ini diingatkan agar politisi berhati-hati bicara dalam menyampaikan janji-janji kampanye.
Sebenarnya dalam masa kampanye menjanjikan konsepsi, visi dan misi serta program tertentu kepada konstituen sah saja. Momen kampanye memang merupakan kesempatan para politisi menyampaikan apa-apa yang akan dikerjakan jika terpilih. Ini sekaligus sebagai upaya menarik simpati dan dukungan masyarakat luas.
Namun demikian sebagaimana ditegaskan PKPU Nomor 23 tahun 2018 dan perubahannya kampanye harus bersemangat dan bermuatan pendidikan. Kampanye harus mendidik masyarakat agar lebih mampu berpikir jernih sehingga makin dewasa dalam berpolitik termasuk menyikapi persoalan negara ini.
Bersemangat pendidikan dalam konteks PKPU itu mengajak masyarakat memahami persoalan bangsa serta upaya penyelesaiannya. Masyarakat dijauhkan dari distorsi pemikiran, penyesatan informasi serta dijejali janji-janji “angin surga” yang tidak rasional.
Penyesatan informasi misalnya menyebut masyarakat miskin di negeri ini masih 99 persen. Apalagi disebutkan bersumber dari data Bank Dunia, yang belakangan membantah memiliki data itu.
Berjanji tidak akan mengimpor termasuk salah satu penyesatan fakta dan data. Mana ada di dunia ini negara yang sama sekali tidak mengimpor. Justru hubungan antar negara melalui saling ekspor dan impor sesuai ketersediaan dan kebutuhan barang di negara bersangkutan.
Terkait soal janji menghapus pajak sepeda motor makin kelihatan sekedar menyebar janji jauh dari rasional. Sekedar meraih dukungan tanpa memperhatikan realitasnya. Ketika pemerintah dari sejak era reformasi berusaha menggenjot pajak justru ditebar pembalikan logika kontra produktif. Apalagi di era modern ini di seluruh dunia instrumen pajak merupakan pendukung utama upaya pembangunan.
Memahami persoalan riil secara obyektif merupakan modal utama dan menjadi titik tolak penyelesaian apapun. Dari data dan fakta obyektif itu dibangkitkan rasionalitas untuk kemudian mencari solusi efektif, efisien serta produktif.
Bukan distorsi informasi, penyesatan dan sekedar janji-janji mengawang-awang yang dapat membawa menuju terwujudnya Indonesia hebat. Bukan membangkitkan emosi dan khayalan Indah tanpa dasar, yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Begitulah seharusnya konsepsi kampanye agar bermuatan pendidikan bagi rakyat negeri ini.
*Wakil Ketua Banggar DPR RI.