Oleh: Miqdad Husein
Banyaknya kepala daerah yang ditangkap belakangan ini termasuk pula anggota DPRD dari berbagai daerah memang mengesankan virus korupsi merajalela. Sehingga sangat terasa hampir setiap hari ada pemberitaan tentang kasus korupsi.
Maraknya kasus korupsi di era reformasi itu memancing segelintir orang, memberikan statement bahwa korupsi sekarang ini lebih dasyat. Secara kuantitatif katanya, sangat jauh jumlah kasus korupsi di era Orde Baru dibanding era reformasi.
Asumsi dan lontaran pemikiran atas dasar melihat kuantitas itu sulit dibantah. Apalagi jika mengacu pendapat Mahfud MD, yang mengatakan bahwa di masa Orde Baru, yang korupsi “hanya” Golkar. Kader-kader partai lain seperti dari PPP dan PDI (belum ada PDI Perjuangan) praktis tak ada. Sementara sekarang ini, seperti juga ditegaskan Mahfud, hampir ada kader dari semua partai terseret kasus korupsi.
Selintas memang terasa ada benarnya jika pandangan hanya tertuju pada pendapat selintas itu. Namun jika sedikit saja lebih serius memperluas cara pandang pada persoalan korupsi, pelan makin terbuka persoalan korupsi yang sebenarnya.
Yang paling sederhana tentu saja keseriusan penegakan hukum. Di era Orde Baru praktis tak ada penegakan hukum terhadap pelaku korupsi. Katakanlah intensitas penegakan sangat jauh dibanding era sekarang. Tak ada lembaga KPK di masa Orde Baru yang sangat serius menegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Jadi sudah pasti secara kuantitatif korupsi di masa Orde Baru memang praktis tidak terungkap ke permukaan.
Hal lain yang layak dicermati adalah praktek korupsi di masa Orde Baru sangat sistematis, massif dan terstruktur. Mahfud MD sebenarnya pernah mengungkap kasus Freeport yang sangat sulit diselesaikan karena mendapat perlindungan dari UU. Dari situ saja terpapar sangat jelas bahwa korupsi di era Orde Baru sangat canggih karena mendapat pembenaran dari perangkat UU.
Itupun belum cukup menjelaskan. Masih ingat kasus pemberian subsidi kepada PT Bogasari, yang diungkap Indef. Perusahaan swasta itu seperti diungkap Indef mendapat subsudi pemerintah lebih dari 700 milyar pertahun. Sebuah jumlah sangat luar biasa besar untuk ukuran tahun sekitar 1995-an.
Bayangkan, perusahaan swasta bisa mendapat subsidi. Padahal sama sekali tidak terkait kepentingan publik secara langsung. Bahkan sangat jelas PT Bogasari merupakan perusahaan komersial, yang bisa dengan mudah ditelusuri siapa pemiliknya.
Contoh lain tentang sistematisnya korupsi di era Orde Baru, yang paling mudah diingat adalah kasus mobil Timor dan BPPC. Alamak. Kasus itu bukan hanya sekedar korupsi kebijakan tetapi dampaknya sangat luar biasa dalam menyengsarakan petani cengkeh. Kasus lain bisa dengan mudah ditemukan berbagai kebijakan Orde Baru, yang menunjukkan sebuah penyalahgunaan kewenangan sangat luar biasa.
Bagaimana dengan anak-anak Soeharto lainnya, selain Tommy? Terlalu mudah melacak sepak terjang bisnis keluarga Soeharto itu. Bahkan Time edisi 24 Mei 1999 menyebut mereka memiliki saham dalam jumlah signifikan di 564 perusahaan yang menggurita ke berbagai sektor. Termasuk disebutkan pula bagaimana praktek mereka dalam menggunakan uang bank-bank pemerintah yang mengabaikan prosedur dunia perbankan.
Sayangnya semua praktek-praktek bisnis mereka, yang bergelimang KKN itu tak tersentuh hukum karena tak ada KPK. Karena itu wajar jika secara kuantitatif korupsi relatif sepi di masa Orde Baru.
Ada lagi yang menarik? Oh ya. Pernyataan Mahfud bahwa saat Orde Baru hanya Golkar yang korupsi. Itu benar. Tapi sayangnya Mahfud lupa tak menyebutkan bahwa Golkar dan kroninya saat itu menguasai sekitar 80 persen kekuasaan politik di negeri ini. Itu berarti bahwa walau hanya Golkar yang koruspsi persentasenya 80 persen dari kekuatan politik di negeri ini. Perbandingannya sangat jelas dengan korupsi kader partai di era sekarang.
Alangkah arif terkait pemberantasan korupsi di negeri ini, yang dikedepankan bukan perbandingan tetapi dorongan keseriusan memberantas korupsi. Membandingkan dengan era Orba hanya atas dasar lintasan pemikiran bisa sangat berbahaya. Apalagi bila disertai agenda untuk kembali ke era Orba yang sudah sangat jelas kompleksitas persoalannya.
Apakah hampir tak pernah ada kepala daerah diproses hukum di era Orde Baru berarti memang tak ada korupsi? Mari bertanya kepada rumput yang bergoyang. (*)