JAKARTA, koranmadura.com – Peredaran pelumas palsu masih banyak ditemukan di sejumlah bengkel tidak resmi. Bahkan, peredaran tersebut kian merebak hingga merambah pasar dunia maya. Permintaan yang cukup besar itu disebabkan karena harga murah dan kurangnya pengetahuan konsumen membuat pengedar, distributor, dan produsen produk ilegal ini terus tumbuh.
“Dalam 2-3 tahun terakhir, anggota kami yang bergerak di industri pelumas mengamati adanya peningkatan peredaran pelumas palsu di platform e-commerce di Indonesia,” ujar Anti Counterfeiting Advisor Asia-Pacific International Trademark Association (INTA) Valentina Salmoiraghi dalam diskusi bertajuk ‘Penanggulangan Peredaran Produk Palsu/Ilegal Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen di Indonesia’, di Hotel Shangri-La, Jakarta, Kamis, 15 November 2018.
Dalam penindakan masalah ini konsumen memiliki andil besar dalam pemberantasan pelumas palsu yang terus beredar. “Kalau konsumen ingin barang asli kemudian diiming-imingi barang palsu sehingga dia menjadi terpengaruh jadi beli barang palsu dan tertipu, itu mereka bisa melakukan upaya hukum melalui UU Perlindungan Konsumen. Dendanya Rp 2,5 miliar dan kurungan penjara selama 7 tahun. Itu hukumannya lebih berat daripada UU merek,” ungkap Ketua Masyarkat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP), Justisiari P. Kusumah.
Justisiari yang juga menjadi Kuasa Hukum Shell di Indonesia mengharapkan pemberantasan pelumas palsu ini didukung oleh semua pihak. Tidak hanya penegak hukum dan pemilik merk, konsumen harusnya juga bisa memberikan andil karena itu adalah hak mereka.
“Konsumen itu adalah raja, mereka bebas memilih pelumas yang palsu, atau hasil recycle dengan risiko yang diterima. Jadi sepanjang ada demand, barang palsu masih akan ada sulit kami setop. Tapi sekarang harus kita buat sadar juga yaitu konsumennya, bahwa apa sih risiko pakai pelumas palsu, kampas rem palsu, disc brake palsu. Nah ini yang harus dibuat sadar,” kata Justisiari.
Harga produk palsu memang menjadi faktor utama para konsumen lebih melirik produk yang tidak memenuhi standar dan dijual secara ilegal. “Konsumen memang harus pandai juga, jangan hanya tergiur harga murah lalu pikir kita pilih barang itu,” pungkas Justisiari. (DETIK.com/ROS/VEM)