JAKARTA, koranmadura.com – Video yang menampilkan Cawapres nomor urut 02, Sandiaga Uno yang melangkahi makam Kiai Bisri Syansuri saat berziarah di Jombang, Jawa Timur menjadi perbincangan yang hangat. Terutama di media sosial Twitter. Bahkan mengundang polemik antar beberapa kalangan. Lalu, siapakah sebenarnya Kiai Bisri Syansuri?
Dihimpun dari NU Online dan sumber lain, Senin, 12 November 2018, Kiai Bisri bukalah orang sembarangan. Beliau merupakan salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Kiai yang lahir di Tayu, Jawa Tengah, pada 18 September 1886 silam itu memiliki silsilah keturunan yang jelas dan bermartabat. Beliau adalah keturunan dari Kiai Khalil Lasem, Kiai Ma’sum dan Kiai Baidawi dari Tayu.
Jika ditelisik rekam jejak beliau, Kiai Bisri sudah belajar ilmu agama sejak kecil. Guru beliau pun beragam dan kiai-kiai yang tak diragukan lagi kemampuannnya. Sebut saja Kiai Soleh dan Kiai Abd Salam dari Tayu, Kiai Kholil Kasingan Rembang, Kiai Syu’aib Sarang Lasem, hingga Kiai Kholil Bangkalan adalah sederetan guru yang pernah pernah menjadi tempatnya menuntut ilmu, sebelum akhirnya mengenyam pendidikan pondok pesantren di Tebuireng.
Di Tebuireng, Kiai Bisri belajar ilmu agama kepada Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri ormas terbesar di Indonesia, yaitu NU. Bersama sahabat karibnya (yang kemudian menjadi kakak ipar, yaitu Kiai Wahab Hasbullah) Kiai Bisri belajar di Tebuireng selama enam tahun. Dia dan Kiai Wahab kemudian bersama-sama menyebarkan agama Islam melalui partai maupun lembaga keagamaan.
Setelah menempuh ilmu selama enam tahun di Tebuireng, Kiai Bisri pun dikenal sebagai sosok kiai yang menonjol dalam penguasaan ilmu agama, terutama dalam pendalaman pokok-pokok hukum fiqih. Kemudian, Kiai Bisri melanjutkan pendidikannya ke Makkah bersama Kiai Wahab.
Di Makkah, Kiai Bisri menikah dengan adik Kiai Wahab, Nur Khodijah. Pasca menikah, Kiai Bisri kemudian pulang ke Indonesia dan menetap di Tambak Beras, Jombang hingga dikarunia sembilan orang anak, salah satunya Sholihah yang kemudian menikah dengan Kiai Wahid Hasyim, ayah dari mantan Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Kiprah beliau dalam berdakwah dikonkretnya dengan mendirikan Pesantren Mambaul Ma’arif di Desa Denanyar, Jombang atas restu mertuanya, H Hasbullah dan restu gurunya, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari. Melalui pesantrennya itu, Kiai Bisri menyebarkan pendidikan agama di Desa Denanyar yang dulunya dinilai desa paling rawan kejahatan di Jombang.
Selain mendirikan pesantren, Kiai Bisri bersama Kiai Wahab juga mendirikan perkumpulan-perkumpulan yang menjadi basis pergerakan nasional dan sebagai embrio lahirnya NU. Seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916, Taswirul Afkar atau Nahdlatul Fikri (kebangkitan pemikiran) pada tahun 1918, dan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar) atau Taswirul Afkar.
Dedikasi Kiai Bisri pun tidak hanya dalam dunia pendidikan, tetapi juga turut aktif dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Buktinya, Kiai Bisri pernah menjadi Kepala Staf Komando untuk menjadi penghubung antara gerakan massa yang dikerahkan oleh Bung Tomo dengan para kiai seluruh Jawa Timur menjelang peristiwa 10 November di Surabaya. Kemudian, pada tahun 1946, Kiai Bisri juga terlibat dalam lembaga pemerintahan, yaitu dimulai dengan menjadi anggota dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili unsur Masyumi, tempat NU tergabung secara politis.
Tidak hanya itu, Kiai Bisri juga pernah menjadi Wakil Ketua Markas Ulama Jawa Timur (MODT) tahun 1947-1955 dan menjadi Ketua markas Pertempuran Hisbullah Sabilillah (MPHS) pada tahun 1947-1949. Tahun 1955-1959, Kiai Bisri menjadi anggota Dewan Konstituante (1955-1959).
Dan beliau juga dianggap banyak tokoh sebagai guru yang sangat berpengaruh, salah satunya oleh cucunya sendiri, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Dalam kisah yang diceritakan Gus Dur, Kiai Bisri yang merupakan orang yang teguh memegang fiqih (jurisprudensi Islam), tapi tak mempersoalkan kepemimpinan non-Muslim di desanya. (DETIK.com/SOE/DIK)