PAMEKASAN, koranmadura.com – Alunan seruling mengikuti lantunan tembang berbahasa Madura kuno. Suara keduanya serasi dan saling beriringan, bersahutan dengan suara lain yang menerjemah isi tembang. Kamis, 1 November malam, di sebuah kobhung (semacam langgar atau musala) di sebuah komplek permukiman tradisional Madura di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, tiga orang sedang memainkan kesenian tradisional mamacan. Beberapa orang lainnya duduk melingkar, mengelilingi ketiganya.
Bahkan ketiganya memiliki peran berbeda dan dilakukan secara bergantian. Seorang menjadi peniup seruling, seorang lainnya menjadi pamacah (pembaca tembang) dan seorang lainnya sebagai paneghes (penerjemah).
Beberapa tembang dimainkan, mulai dari yang berirama Pangkur, Sinom, Artate, Miijhil, Gembhu dan Dandanggula dan beberapa irama tembang lainnya. Kegiatan mirip macopat di Jawa itu, berlangsung hingga tengah malam.
Di Madura, mamacah merupakan satu bentuk kesenian yang oleh sebagian masyarakatnya dianggap memiliki nilai kesakralan. Sehingga, kegiatan itu biasanya digelar pada saat-saat tertentu, seperti selamatan khitanan, kelahiran dan tujuh bulan kehamilan.
Selain itu, sebelum digelar selalu diawali dengan ritual-ritual tertentu, seperti bakar kemenyan dan mengirimu doa khusus untuk sesepuh.
Menurut seorang budayawan Madura, Abdul Halim Bahwi, ada pergeseran nilai kesenian tersebut dari saat awal mula kemunculannya. Di Madura, seperti halnya daerah-daerah lain di Jawa Timur dan Bali, tradisi lisan itu sudah ada, sebelum masa kerajaan Majapahit.
Pada waktu itu, jelas dia, tembang-tembang hanya berupa catatan sejarah, ramalan, kisah-kisah dan propaganda kerajaan. Istilah kumpulan tembangnya disebut Kakawin.
Namun sejak akhir kejayaan Majapahit dan dimulainya masa kejayaan kesultanan, isi tembang berubah ke nasihat-nasihat sosial dan keagamaan yang disimbolkan dalam cerita kenabian, dan di Madura kumpulan kitab tembangnya disebut Layang.
“Nasihat-nasihat itu, ada yang berkaitan dengan kelahiran, pernikahan, rejeki dan lainnya. Sehingga, ketika ditampilkan dalam sebuah acara hajatan, isi mamacah yang ditampilkan disesuaikan dengan bentuk hajatannya,” jelas Abdul Halim.
Ia mencontohkan, jenis tembang Artateh yang berarti menuntun berjalan, berisi tentang nasihat tentang norma dan adat yang harus menjadi pegangan dalam menjalani kehidupan. Tembang tersebut biasanya ditampilkan pada acara selamatan toron tana, yang di Jawa dikenal dengan istilah dedak Siti atau selamatan bagi anak untuk pertama kali menginjak tanah.
Demikian pula dengan jenis tembang Senom yang mengandung arti kalangan muda (Senoman). Tembang tersebut biasanya ditampilkan pada hajatan khitanan sebagai nasihat agar dalam memasuki kehidupan senantiasa berhati-hati.
Tentang ritual sebelum pembacaan tembang, jelas salah seorang ahli sejarah Madura itu, berkaitan dengan tradisi lama dalam acara hajatan tradisional Madura yang selalu diawali dengan doa-doa untuk para leluhur.
Keberadaan mamacah, sebagai salah satu bentuk kesenian lisan yang ada di Madura saat ini tidak lepas dari pengaruh kerajaan Mataram. Sebab, sebelumnya di wilayah itu diperkirakan sudah ada tradisi lisan dalam bentuk lain.
Hal ini bisa dilihat dari bentuk irama tembang yang menggunakan nama mirip dengan nama-nama tembang di Jawa, seperti Senom yang mirip dengan tembang Sinom, Artate yang mirip dengan Kinanthi, Pangkur dan nama tembang lainnya yang juga memiliki kemiripan dengan tembang peninggalan Mataram Islam.
Habibullah, salah seorang pelaku kesenian mamacah menjelaskan hal tersebut dan mengatakan pengaruh kerajaan Mataram itu terjadi sejak wilayah Madura menjadi bagian dari kerajaan besar di Jawa pasca Majapahit tersebut.
“Tidak hanya pada mamacah yang di Jawa dikenal dengan istilah Macopat, tapi juga pada kesenian lain, termasuk permainan anak-anak,” jelasnya.
Ia mengatakan, sebelum masa Mataram, di Madura sudah ada kesenian lisan yang dipengaruhi kerajaan Majapahit. Meskipun, saat ini sulit dicari jejaknya, namun diperkirakan irama yang digunakan pada mamacah merupakan irama yang digunakan pada kesenian tersebut sebelum ada pengaruh Mataram.
“Itu yang menyebabkan ada perbedaan antara mamacah dan macopat. Irama tembang pada mamacah lebih panjang dan tidak sehalus irama pada macopat. Pengaruh Mataram hanya pada istilah di masing-masing tembang dan sebagian isi,” katanya.
Meskipun termasuk kesenian tradisional, mamacah masih diminati masyarakat setempat. Sehingga, pada waktu-waktu tertentu pagelaran kesenian tersebut masih bisa ditonton. (G. MUJTABA/ROS)