Oleh: Miqdad Husein
Pasca acara Reuni 212 merebak perdebatan soal berapa jumlah massa yang hadir. Kalangan panitia secara terbuka mengklaim jumlah massa hadir sebanyak 8 juta orang. Berita online eramuslim berani menyebut 10 juta! Lebih banyak dari acara demo 212 dua tahun lalu.
Situs CNN Indonesia tidak membantah secara langsung klaim itu. Lewat pemaparan data berbagai aktivitas berkumpulnya massa yang pernah terjadi di dunia disertai kalkulasi matematis, CNN memperkirakan massa yang berkumpul pada Reuni 212 itu dalam kisaran 1 jutaan. Itu pun jika dihitung dengan estimasi massa berdiri dalam posisi sangat rapat. Namun jika diukur mengacu posisi sholat dhuhur dan posisi duduk yang memerlukan tempat lebih luas menurut CNN massa berkisar sekitar 500 ribuan.
Pihak penyelenggara dan para partisipan Reuni 212 agaknya seperti kejadian dua tahun lalu tetap meyakini bahwa massa yang berkumpul mencapai 8 juta. Berbagai foto dan video disertakan dalam penegasan angka-angka itu.
Pertanyaannya, begitu pentingkah sikap bersikukuh mempertahankan klaim jumlah yang dianggap besar itu sehingga berbagai analisis rasional dan matematis langsung disanggah keras? Lalu apa urgensi membanggakan jumlah massa? Terkait kepentingan apakah penegasan jumlah yang dianggap besar itu?
Terlihat sekali berasyik-asyik dan berbangga soal jumlah ini menegaskan cara pandang mementingkan sisi kuantitatif. Padahal bukan hanya realitas sosial kekinian tantangan kehidupan menuntut keharusan kualitas. Bahwa kondisi umat Islam Indonesia saat ini yang masih belum menempati posisi mayoritas aktif -jumlah mayoritas tapi peran minoritas- sudah seharusnya dan bahkan sangat mendesak berpikir persoalan kualitas, meninggalkan kekuatan semu atas dasar jumlah.
Secara normatif Nabi Muhammad pun pernah mengingatkan tentang situasi umat yang berjumlah besar tapi perannya marginal. Umat bukan pelaku penentu pasar tapi sekedar menjadi pasar. Ya itu tadi karena kualitas umat jauh dari memadai.
Yang layak dicermati lagi selama ini sering didengungkan tentang betapa kalangan etnis tertentu di negara ini dianggap begitu dominan misalnya dalam peran bidang ekonomi. Ini jelas sangat terkait kekalahan umat dalam bersaing dengan mereka karena persoalan kualitas. Dari realitas ini saja perlu ‘dibuang ke laut’ berbagai pemikiran yang membanggakan jumlah. Untuk apa jumlah besar seperti ditegaskan hadis Nabi Muhammad jika berkualitas rendah seperti buih.
Persepsi atas dasar angka saja sudah tertinggal. Orang lain sudah berpikir keras bagaimana meningkatkan kualitas, sebagian umat Islam masih sibuk bereuforia jumlah massa. Orang lain sibuk tekun kerja keras umat Islam masih asyik berseremoni ria dengan berbagai aktivitas pengerahan massa. Ironisnya ketika kalah lalu menyalahkan orang lain. Alamak.
Hal lain yang perlu dicermati bahwa membanggakan jumlah sering terkait kepentingan politik instan, hanya demi elektoral. Celakanya lagi sebagian ummat Islam justru menjadi alat kepentingan politik dan bukan kekuatan politik penentu. Umat Islam dijadikan seperti jembatan, untuk dilewati lalu ketika sudah berlalu ditolehpun tidak. Sekedar menjadi pendorong mobil mogok, yang ketika mobil sudah berjalan umat Islam ditinggalkan.
Kapan umat Islam negeri ini berhenti berbangga-bangga dengan jumlah besar dan mulai serius bicara kualitas agar dapat berperan penting sehingga tak sekedar merengek, marah ketika kalah bersaing dalam kehidupan.
Seremoni massa sebagai instrumen unjuk gigi bukan tidak penting. Sesekali kadang memang diperlukan. Tetapi -tanpa mengurangi rasa hormat kepada mereka yang berpanas-panasan berkumpul dalam jumlah besar- tak pernah jumlah besar yang mengabaikan kualitas dapat berperan besar. Selalu mereka yang serius mengedepankan kualitas baik dalam jumlah kecil dan besar yang menentukan jalannya sejarah.
“Demo itu hak demokrasi setiap warga bangsa. Namun jika Indonesia ingin maju sungguh memerlukan intensitas kerja-kerja keilmuan dan aksi-aksi produktif yang membawa keunggulan merebut masa depan,” tutur Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir.
Ayo lupakan berbangga dalam jumlah besar. Mulailah berusaha keras meningkatkan kualitas.