Oleh: MH. Said Abdullah*
Hal tak biasa terjadi ketika Presiden Joko Widodo mengharap ada demonstrasi di depan Istana Merdeka. Permintaan itu dituturkan Presiden Jokowi ketika memberikan sambutan dalam acara Konferensi Mahasiswa Nasional, di Istana Bogor, pekan lalu. “Saya enggak pernah didemo. Didemo dong. Ada yang demo mendukung gitu, lho. Tapi kok ngak ada. Saya dibiarkan jalan sendiri, malah dibilang antek asing. Ini gimana kok dibolak-balik,” tutur Jokowi.
Permintaan Jokowi itu sudah pasti bukan terkait pencalonannya sebagai Presiden periode mendatang. Presiden Jokowi ingin mengajak masyarakat berbaris bersama ketika pemerintah sedang berusaha memperjuangkan kepentingan Negara. Bukan sekedar sebuah harapan apresiasi tetapi lebih pada bagaimana masyarakat berdiri bersama pemerintah ketika bertarung berhadapan dengan kepentingan asing.
Jokowi memberikan contoh pengambilalihan Blok Mahakam dan Blok Rokan yang sebelumnya dikuasai asing. Termasuk pula ketika pemerintah berhasil mendapatkan 51 persen saham dari divestasi Freeport Indonesia. Semuanya memerlukan dukungan rakyat karena menyangkut kepentingan Negara dan bukan sekedar sebuah apresiasi.
Deretan keberhasilan berbagai pengambilalihan perusahaan dari asing itu memang bukan perkara mudah. Kompleksitas masalah yang membentang menyangkut tarik menarik kepentingan dengan Negara lain sangat tidak mudah. Bukan hal luar biasa bila dalam pengambilalihan itu berdampak langsung pada hubungan antar Negara katakanlah misalnya Negara tempat asal perusahaan itu karena kecewa kemudian mulai mengganggu kondisi negeri ini.
Resiko paling mungkin adalah Negara itu berusaha menanamkan pengaruhnya kepada segelintir elit yang bermental lemah untuk menumbangkan kekuasaan pemerintah yang ingin bertindak menyelamatkan kekayaan negara. Atau negara-negara itu berupaya memperlemah pemerintahan Indonesia agar kepentingannya tetap terjaga melalui antara lain memberikan dukungan kepada politisi yang hanya berpikir kepentingan dirinya.
Jadi point penting pernyataan Presiden Jokowi adalah mengajak masyarakat memberikan dukungan riil ketika pemerintah sedang bertarung demi kepentingan Negara. Ketika urusannya Negara, kebersamaan bangsa Indonesia harus diperlihatkan. Perbedaan politik ditanggalkan ketika menyangkut penyelamatan kepentingan Negara.
Kedewasaan itulah yang belum sepenuhnya terlihat di negeri ini. Ketika pemerintah bertarung dalam mengambilalih saham Freeport misalnya, beberapa elit justru seperti memposisikan diri mengerecoki. Bahkan ada yang bersikap nyinyir, mencibir dan menyebarkan opini menyesatkan ke tengah masyarakat. Alih-alih memberikan dukungan dan berusaha membantu malah justru melemahkan perjuangan pemerintah. Padahal, subtansinya menyangkut kepentingan Negara; kepentingan seluruh rakyat negeri ini tanpa kecuali serta untuk masa depan pemerintahan siapapun di masa mendatang.
Mereka yang berpikir jernih tentu memahami bahwa ketika Presiden Jokowi bertarung berjuang dalam divestasi 51 persen saham Freeport resiko politik besar harus siap dihadapi. Bukan hanya kemungkinan Presiden Jokowi “diganggu” tapi yang jauh lebih berbahaya ketika kekuatan-kekuatan asing berusaha memporak-porandakan kedamaian negeri ini.
Di sinilah mutlak diperlukan kedewasaan dan kejernihan berpikir seluruh rakyat negeri ini. Bahwa ketika menyangkut kepentingan Negara, rakyat harus bahu membahu menggalang kebersamaan dan kekuatan tanpa kecuali dengan menanggalkan seluruh perbedaan. Rakyat bersatu agar negeri ini memiliki kekuatan besar; rakyat tetap dalam jalinan persatuan dan kesatuan sehingga tidak mudah dipecah belah oleh kekuatan luar.
Indonesia hebat hanya akan terwujud jika fondasi kebersamaan, persatuan dan kesatuan tetap terjaga, yang diikuti kerja keras seluruh rakyat negeri ini.
*Wakil Ketua Banggar DPR RI.