SUMENEP, koranmadura.com – Tepat pada hari ini, 10 Desember 2018 adalah Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia.
Seperti yang dilansir dari Wikipedia, 10 Desember dinyatakan oleh International Humanist and Ethical Union (IHEU) sebagai hari resmi perayaan kaum Humanisme.
Dalam hal ini ada jenis HAM yang dijadikan titik tekan, yaitu hak asasi sosial, ekonomi, politik, sosial budaya, hak untuk mendapat perlakuan yang sama dalam tata cara peradilan, dan pula hak untuk mendapat persamaan dalam hukum dan pemerintahan. Bagaimana kata Wakil Bupati Sumenep Achmad Fauzi dalam memaknai Hari HAM Sedunia ini?
“Hari HAM merupakan sebuah nilai kemanusiaan yang akhir-akhirnya mulai ditinggal oleh manusia. Maka dari itu, momentum Hari HAM jangan sampai sekadar formalitas belaka,” ujar Achmad Fauzi saat ditanya tentang makna Hari HAM Sedunia, Senin, 10 Desember 2018.
Menurut pria yang akrab disapa Bang Uji ini, tak perlu repot-repot membahas soal kasus-kasus besar di dunia, termasuk Munir dkk. “Terlalu jauh saya kira, Lebih baik kita ‘menziarahi diri’ sebagai manusia. Bukankah akhir-akhir ini kita kerap “mendewakan” diri sendiri dan memuja ego?,” kata Wabup mengajak kita untuk melakukan refleksi diri
Suami Nia Kurnia ini menjelaskan bahwa keegoisan kita itu secara tidak sadar telah merampas hak orang lain untuk hidup tentram, damai dan bahagia. Bahkan, lanjutnya, karena kita tak pernah mau berbagi dengan yang lain telah melupakan tugas kita untuk melindungi manusia dari segala penderitaan dan ancaman.
“Kerap kali kita saksikan alam mulai mengamuk dan menghantam hidup manusia dengan bencana, dari tsunami hingga gempa bumi. Itu semua terjadi karena kita telah merampas hak alam untuk lestari. Jadi, tak perlu jauh-jauh memaknai HAM,” jelasnya.
Mantan jurnalis ini menyebut contoh tentang kesalahan yang juga kerap kali kita ulang ialah mengakibatkan manusia yang satu membuat nestapa manusia lainnya. “Tak sedikit karena ia merasa kuat, maka ia merasa boleh untuk menyiksa dan menindas yang lemah. Hukum rimba seolah bersemi, yang kuat dapat melakukan apa aja, sementara yang lemah dibuat tak berdaya,” paparnya.
Dari titik inilah, kata Bang Uji sebenarnya HAM harus dipahami, agar dapat melindungi yang lemah dari bentuk penindasan. “Jadikan HAM sebagai dasar dari beragam hukum dan aturan, supaya hidup manusia jauh dari nestapa dan rasa takut,” imbuhnya.
Oleh karena itu, dari sudut pandang yang amat sederhana, bahwa setiap manusia, apapun agamanya, golongannya, rasnya, jenis kelaminnya, cacat atau tidak, memiliki martabat yang sama di dalam dirinya. “Ia berdiri sejajar dalam mengarungi kehidupan, meski beragam. Walaupun kerap disangkal, martabat akan selalu bersemayam dalam diri setiap insan. Tak dibenarkan jika manusia seperti kita melakukan bentuk penindasan. Karena pada dasarnya, setiap diri itu berharga,” tegas Wabup mengakhiri. (SOE/DIK)