SUMENEP, koranmadura.com – Hari ini, 22 Desember 2018 merupakan hari yang bersejerah bagi para ibu-ibu di tanah air. Sebab pada tanggal itu diperingati sebagai Hari Ibu.
Bagaimana menurut Ketua Gabungan Organisasi Wanita (GOW) Sumenep, Madura, Jawa Timur Nia Kurnia Fauzi terkait momentum Hari Ibu ini?
Sejatinya menurut Nia, Hari Ibu tak hanya ada di Indonesia. Tetapi di negara-negara lain juga ada. Seperti Jasirah Arab, Hari Ibu dirayakan pada tanggal 21 Maret, yang kebetulan bertepatan dengan awal musim semi. Di Panama Hari Ibu dirayakan pada 8 Desember, sebagai ungkapan syukur kepada Bunda Maria.
Di Thailand ibu-ibu dihormati pada 12 Agustus yang merupakan ulang tahun Ratu Sirikit, yang telah memerintah sejak 1956, dan dianggap oleh banyak orang sebagai ibu bagi semua orang Thailand. Sementara di Inggris, kata Nia perayaan Hari Ibu dikenal dengan Mothering Sunday yang dirayakan pada hari minggu keempat di masa Prapaskah.
Namun dari semua perayaan Hari Ibu tersebut, hemat Wakil Ketua TP PKK Sumenep belakangan Hari Ibu disalah artikan bahkan dicampur aduk dengan tradisi barat seperti tradisi Mothers’ Day, padahal hari ibu memiliki makna yang lebih mendalam yaitu perjuangan nasionalisme dan hak-hak perempuan.
“Memang tidak ada salahnya memberi hadiah kepada orang yang melahirkan dan membesarkan kita, tapi jika berlebihan seperti di negara lain itu keterlaluan, dan jika pemberian hadiah itu hanya sekadar ikut-ikutan tren, tentu saja tak ada artinya. Jadi, Hari Ibu bukan sekadar kasih hadiah,” ucap Nia Kurnia Fauzi ketika ditemui di kediamannya, Sabtu, 22 Desember 2018.
Dikatakan oleh istri Wakil Bupati Sumenep ini bahwa hari Ibu di sejatinya adalah perjuangan nasionalisme dalam menebalkan rasa kebangsaan hingga perjuangan perempuan untuk mendapatkan hidup layak.
Berdasarkan sejarah, Hari Ibu ditetapkan pada 22 Desember oleh Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari Hari Nasional yang bukan Hari Libur. Penetapan ini didasarkan pada Kongres Perempuan Indonesia I pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta.
“Kongres tersebut muncul setelah peristiwa Sumpah Pemuda taggal 28 Oktober 1928. Dimana kaum perempuan Indonesia dari Jawa dan Sumatera datang ke Yogyakarta untuk menyamakan persepsi dengan penuh semangat berjuang menuju kemerdekaan,” tambahnya.
Pada saat itu, kata Nia, sedikitnya ada sekitar 30 organisasi perempuan yang hadir, mereka membicarakan agenda perbaikan kaum perempuan, mulai dari peran serta perempuan hingga pembangunan bangsa. Dari Kongres ini kaum perempuan bersepakat untuk membuat sebuah organisasi bernama Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI)
Dikutip dari kompas.com melalui Kowani.or.id, mereka (para perempuan) bersepakat untuk mengirimkan mosi kepada pemerintah klonial untuk menambah sekolah bagi perempuan. Kongres ini juga memutuskan bahwa pemerintah wajib memberikan surat keterangan pada waktu nikah (undang undang pernikahan).
Selain itu mereka meminta tunjangan kepada janda dan anak-anak pegawai negeri Indonesia, mempurjuangkan gizi dan kesehatan bagi anak dan balita, serta menghentikan pernikahan dini dan perdagangan perempuan dan anak.
Pada tahun 1929 organisasi PPPI berubah menjadi Perikatan Perkoempoelan Istri Indonesia (PPII). Kemudian pada tahun 1935 Kongres Perempuan Indonesia II dilaksnakan di Jakarta menetapkan fungsi perempuan sebagai Ibu Bangsa yang berkewajiban menumbuhkan rasa kebangsaan.
Selanjutnya pada Kongres ke III yang dilaksanakan di Bandung dinyatakan bahwa tanggal 22 Desember sebagai hari ibu. Saat ini Kongres Perempuan berubah menjadi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). (Madani/SOE/VEM)