Oleh: Achmad Fauzi*
…kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu…
Potongan puisi D Zawawi Imron ini bukan hanya mengingatkan kita tentang perjuangan seseorang yang tak ternilai harganya. Tetapi juga menyadarkan semua anak di negeri ini siapa diri kita yang sebenarnya. Tanpa perjuangannya, kita hanya segumpal darah yang tak berwujud, tanpa kasih sayangnya, kita seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Pun tanpa jasanya, kita tak lebih dari sekumpulan orang di rumah sakit jiwa.
Iya, ibu adalah pahlawan yang bertahta diantara para pahlawan-pahlawan yang lain. Sebab hanya dia pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya. Pengorban yang tak berbalas dan tak bisa tergantikan oleh kemilau mutiara di lautan sana telah melahiran pahlawan-pahlawan revolusioner di negeri ini. Sebab ketika ada duka, ia mampu membelah malam dan menyapa Tuhan. Kemudian berdoa agar anaknya kelak menjadi sinar terang bagi kehidupan. Ia yang menjadikan gulita menjadi pelita.
Miris, ketika ada beberapa anak yang malu mengakui ibunya gara-gara miskin, berlumut dan berbaju kumal. Keterlaluan ketika kita menjadi saksi dari anak yang tega membunuh ibu kandungnya sendiri. Bahkan sungguh di luar batas kemamuan akal ketika ada anak seperti binatang dengan merenggut kehormatannya.
Akhir-akhir ini, banyak anak mulai “amnesia”, seperti aksioma lama ‘kacang lupa kulitnya’, karena posisinya mulai terganti. Ada “superhero” lain di hatinya. Kerap kita saksikan, ibu kalah pamor pada artis-artis idola anaknya. Bahkan demi sang idola, mereka rela berkorban walau nyawa jadi taruhannya. Sementara, di saat ibu sedang kesusahan, empati itu nyaris tak ada.
Seharusnya tak perlu superhero kalau sudah ada ibu. Tidak ada yang superhero yang lebih kuat selain ibu. Sekadar menyebut contoh, saat kita sakit, bukan artis idola atau pacarnya yang bersedia merawatnya, tetapi ibu. Sebab kasih sayang yang beliau pancarkan tak pernah surut sedikitpun. Jika masih ada cahaya di atas cahaya, ibulah yang paling terang, jika pun bintang disebut paling bersinar dan indah diantara sinar yang lain, masih tetap ibulah yang nomor satu.
Hari Ibu adalah momentum tepat menghargai jasanya, membuatnya tersenyum dan bangga. Bukan hanya sekadar seremonial belaka. Inilah alasan paling pas kenapa setiap 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu, tentu untuk mengenang jasanya yang besar, tanpa pamrih. Biar kita selalu ingat, bahwa generasi-generasi cerdas lahir melalui rahim seorang ibu. Mereka tak pernah mengeluh merawat dan menjaga kita semua dari saat mengandung hingga dewasa. Hadiah semahal apapun masih belum sebanding dengan jasanya. Cukup bahagiakan dan jaga ibu kita dengan baik. Dan sadari, negara ini tegak bediri karena perjuangan seorang ibu. Oleh sebab itu, menjadi sebuah kewajiban bagi siapapun untuk meletakkan ibu pada posisi terhormat.
Untuk itulah, refleksi saja tidak cukup untuk menghargai dan menghormati ibu kita dimanapun sampai kapanpun. Karena siapapun yang merasa menjadi anak tentu mengerti bagaimana ibu berjuang. Sebab, sekali lagi, ibu merupakan simbol kasih sayang dan narasi panjang tentang sejarah manusia.
Maka jika ditanya tentang pahlawan, tentu bukanlah Soekarno-Hatta atau pahlawan-pahlawan lain, tetapi ibu, sebab di belakang segala tanda jasa itu yang disematkan kepada para pahlawan, tentu sosok ibu yang masih bertahta dengan cinta dan kasih sayang yang besar. Sebab dalam duka sekalipun ia tetap memancarkan kasih sayangnya kepada kita. Hanya satu ungkapan baginya “takkan pernah cukup lagu untuk menarasikan perjuanganmu, dan teramat panjang puisi jika kita ingin menulis jasamu”. Wallahu A’lam!
* Mantan Jurnalis yang saat ini menjadi Wakil Bupati Sumenep.