SUMENEP, koranmadura.com – Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Reguler Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien (IDIA) menggelar Seminar dan Mengkaji Media, Jumat, 21 Desember 2018. Acara yang diikuti oleh ratusan santriwati dan mahasiswi tersebut bertema “Media Sosial di Tengah Kreativias Anak Muda Indonesia”.
Narasumber acara ini diantaranya adalah Pemimpin Redaksi Koran Madura, Syamsuni; Kapolsek Pragaan yang diwakili Kanit Reskrim Teguh; dan Sekretaris Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam Agus Saifuddin Amin, M. Si.
Menurut Syamsuni, belakangan ini, hoaks telah menyita perhatian. Kehadirannya dianggap tidak hanya menyesatkan, tetapi juga mencederai hak masyarakat untuk hidup rukun dan damai. Hoaks disebut-sebut sebagai biang kerok dari rententan peristiwa yang terjadi; kebencian, gesekan, pertengkaran, hingga kegersangan sosial.
“Diakui atau tidak, sejak abad-21 bergulir, manusia seperti hidup di dalam gelembung. Hanya sekali klik, orang-orang berselancar kemana yang mereka mau. Yang jauh menjadi dekat, yang kecil menjadi lebih besar. Bahkan dapat memandang semua orang sebagai warga yang senegara. Walaupun secara fisik mereka tidak sedang hidup di satu negara. Benar adanya, dunia seolah dalam genggaman,” jelasnya dalam sesi seminar.
Sejak saat itulah, lanjut pria yang akrab dipanggil Soe itu, pengguna internet tidak hanya dinikmati oleh negara maju, tetapi juga negara berkembang, termasuk Indonesia. Pengaruhnya pun tidak hanya di kota, tetapi juga menyentuh warga desa.
Sejak saat itu pula, orang-orang mulai menggunakan produk internet melalui website, blog, youtube, FB, twiter, dan beberapa produk mutakhir seperti BBM, WA, IG, dan lain sebagainya. Para pengguna pun asik bersenda gurau, hingga menikmatinya tanpa batas.
“Tak pandang bulu, dari politisi, artis, hingga masyarakat akar rumput. Lewat media-mesia itu, mereka buat status, saling tukar informasi, hingga unggah foto. Namun, lambat laun, media sosial bermetamorfosis menjadi wadah saling caci, mengumpat, dan menyakiti dengan menyebarkan informasi-informasi yang tidak benar (hoaks),” terangnya memaparkan.
Pertanyaan, kenapa hoaks mudah viral di Indonesia? Karena Indonesia adalah negara yang punya selera chatting tertinggi di dunia. “Maka sangat beralasan jika berita hoaks mudah menjamur dan menjalar kemana-kemana,” tambahnya
Selain itu, kecanggihan teknologi yang mudah itu juga bisa melahirkan jalan pintas. Buktinya, tren copy paste yang angkanya tinggi. Ketika ada tugas dari guru atau dosen, dengan mudahnya copy pasti di internet. “Diubah judul dan fontnya, kemudian disetor. Ini tantangan lain generasi selain hoaks,” tambahnya
Padahal dalam hemat Soe, dunia yang serba digital ini menawarkan pekerjaan yang luas untuk mereka. Bahkan karena internet mereka bisa berkarya. Lalu bagaimana caranya agar dunia yang serba digital ini tidak menjadikan generasi kita mabuk kepayang atau hanya menggunakan internet seadanya saja?
“Kuncinya ada pada sekolah atau kampus. Sebab generasi milenial tak lagi menyukai segala sesuatu yang sifatnya konvensional atau standar. Mereka senang kepada hal-hal yang baru dan inovatif. Dan ini tak bisa terbantahkan, sekolah tak boleh gaptek, guru pun tak harus mampu menggiring anak didik untuk bisa berselancar dengan cerdas di dunia maya,” jelasnya.
Soe mengingatkan bahwa “ideologi” internet tak mengenal batasan, generasi itu punya kebebeasan untuk berekspresi.
“Untuk itulah, mari mengajari anak-anak dengan baik dan bermanfaat dengan digital. Sebab orang tua, guru dan kita semua sudah tidak bisa lagi menghindar dari tuntutan itu. Tak boleh dibiarkan terlalu liar. Jika dibiarkan, maka anak-anak bebas melakukan apa yang membuat mereka puas. Sudah seharusnya sekolah jadi tempat yang aman dan menyenangkan bagi mereka,” tutupnya mengakhiri. (DIDIK/SOE)