Oleh: Miqdad Husein
Sekali waktu seorang wartawan bertanya kepada KH. Zainuddin MZ yang saat itu menjadi Ketua Umum PPP Reformasi -pecahan PPP- tentang sebuah persoalan yang sedang terkait dinamika politik internal PPP. Apa jawaban KH. Zainuddin MZ? Dengan spontan beliau berkata, “Maaf, saya tak mau berkomentar. Saya tak mau menari di atas musibah Pak Hamzah,” tegas dai sejuta umat itu.
Zainuddin tampak menyadari dan memahami serta justru bersimpati pada apa yang terjadi di PPP walau posisinya saat itu sedang berlawanan. Beliau merasa betapa nistanya memanfaatkan musibah orang lain demi sebuah kepentingan politik. Apalagi bila musibah itu terjadi pada sesama muslim.
Belakangan ini kearifan dan kematangan akhlak berpolitik seperti ditunjukkan KH. Zainuddin seperti raib. Segala sesuatu dimanfaatkan oleh segelintir politisi demi memuaskan syahwat kekuasaan. Tidak peduli yang dimanfaatkan derita dan nestapa sesama. Tanpa ragu mereka menari di atas gendang derita masyarakat lain sekedar untuk meraih kekuasaan. Lebih menyedihkan lagi mereka membungkus berbagai aktivitas itu dengan kesucian agama Islam.
Kasus Uighur menjadi contoh paling mutakhir tentang penyalahgunaan tragedi sesama muslim demi syahwat kekuasaan. Di tengah demonstrasi menuntut penghentian tindakan kekerasan kepada masyarakat muslim Uighur justru lebih dicuatkan kampanye ganti presiden. Teriakan ganti presiden diam-diam diduga menjadi agenda utamanya. Demontrasi Uighur sekedar media atau jembatan memuaskan syahwat politik segelintir politisi.
Contoh paling aktual lainnya terkait kasus Rohingya. Fadli Zon, Wakil Ketua Gerindra begitu gencar bahkan cenderung nyinyir menyerang pemerintahan pimpinan Presiden Jokowi yang dituding tak peduli kepada derita muslim Rohingya. Berbagai komentar pedas ditembakkan ke pemerintah. Ya, lamban, ya tak peduli dan berbagai kalimat lainnya.
Padahal pemerintah sebenarnya sudah mengambil langkah diam-diam. Nah ketika kemudian langkah pemerintah tercover media sehingga masyarakat mengetahui bahwa pemerintah telah turun tangan dengan berbagai bantuan, tuduhan lain justru muncul. Upaya pemerintah membantu mengatasi tragedi Rohingnya dituduh pencitraan. Alamak.
Tidak perlu menjadi cerdas mengetahui ada aroma memanfaatkan untuk mengekspresikan syahwat politik. Sangat jelas teriakan kepedulian kepada Uighur dan Rohingya sekedar lagi-lagi sebagai jembatan atau alat memuaskan syahwat politik. Sekedar kepentingan elektoral menaikkan elektabilitas.
Pernyataan Prof. Nadirsyah Hosen dalam twittnya menyebut bahwa yang dibela nafsu politik bukan muslim Uighur. “Muslim Uighur cuma dijadikan modus saja,” katanya. Nadirsyah juga memaparkan data kasus menjadikan kasus Rohingya sebagai modus politik dengan gambar lengkap pernyataan Fadli Zon.
Membela dan solider dengan saudara sesama muslim yang diperlakukan semena-mena merupakan kewajiban umat Islam. Termasuk pula menjadi kewajiban pemerintah sebagai pelaksanaan amanat UUD 1945 dan berbagai perangkat UU lainnya. Menggalang perlawanan menghadapi kezaliman, jangankan kepada sesama muslim, yang merupakan saudara mayoritas masyarakat negeri ini, kepada mereka yang beragama lainpun jika mengalami nasib sama perlu dibela.
Semangat memperjuangkan tegaknya nilai kemanusiaan dan keadilan merupakan kewajiban bagi siapapun tanpa kecuali. Apalagi telah jelas menjadi amanah UUD 1945. Segala cara yang baik perlu dilakukan baik diplomasi, tekanan politik, termasuk langkah-langkah bersifat kongkrit seperti bantuan bahan makanan dan obat-obatan serta lainnya.
Tak perlu saling mengecam. Langsung lakukan langkah untuk membantu sesuai kemampuan. Itu jika memang berniat baik. (*)