Oleh: Miqdad Husein
Hitam putih jagad politik di negeri ini, yang menempatkan agama sebagai komoditas politik makin kelihatan jelas. Adalah usulan tes baca Alquran kepada para Capres dan Cawapres dari Dewan Ikatan Dai Aceh yang makin mengungkapkan praktek menjadikan agama tak lebih dari alat politik. Dewan Ikatan Dai Aceh itu seperti menyindir kelakuan sementara kalangan yang selama ini menjadikan agama sebagai kedok politik.
Lihatlah reaksi segelintir elite yang selama ini seakan menjadikan agama sebagai standar politik. Mereka seperti kelabakan dengan usulan Dewan Ikatan Dai Aceh. Lalu berbagai alasan dikemukakan. Yang paling baru usulan Dewan Ikatan Dai itu dianggap belum waktunya diterapkan karena keislaman Capres Cawapres masih di bawah rata-rata.
Begitulah alasan Bernard Abdul Jabbar Sekretaris Persaudaraan Alumni (PA) 212. Sebuah alasan yang terasa ironis. Bukankah selama ini mereka paling getol menjadikan agama Islam sebagai parameter? Kalimat lantang misalnya, menyebut umat Islam Indonesia perlu mendukung Capres/Cawapres hasil Ijma’ ulama digaungkan dan disebarkan terstruktur, massif dan sistematis.
Berbagai rentetan ukuran agamapun dipaparkan dan disodorkan ke tengah masyarakat. Seakan salah satu Capres dan Cawapres yang didukung Ijma’ ulama sangat Islami sedang lainnya jauh dari keislaman. Seakan Capres dan Cawapres produk Ijma’ Ulama itu kental keislamannya, paham agama Islam, taat beribadah, santri milineal, ulama bahkan pernah mengaku lebih hebat dari Nabi Yusuf. Luar biasa.
Agama Islam di sini benar-benar dijadikan komoditas politik. Yang berbeda pilihan dianggap tidak mendukung Capres dan Cawapres mereka yang dianggap representasi keislaman. Lha giliran disodori usulan perlu tes baca Alquran mereka berteriak tidak perlu karena “kita” memilih pemimpin majemuk. Kelihatan sekali ‘ngelesnya.”
Sadar atau tidak sebenarnya mereka mulai terperangkap berbagai standar yang mereka buat sendiri. Selama ini standar itu dilemparkan ke pasangan Capres-Cawapres lain. Hanya berlaku untuk orang lain bertitik tolak demi kepentingan elektabilitas alias kepentingan politik. Giliran standar itu diberlakukan kepada semua pasangan –termasuk pasangan yang didukung- mulai kelabakan. Mereka baru menyadari bahwa standar keislaman yang dipakaikan kepada Capres dan Cawapres lain itu ternyata hampir tak akan dapat dipenuhi oleh pasangan yang didukung pakai merk Ijma’ Ulama segala. “Mereka kena batunya,” kata seorang kawan.
Mengkaitkan agama dengan aktivitas politik sebenarnya bukan hal baru. Dalam Islam agama dan politik bahkan seperti kopi dan gula. Tak bisa dipisahkan. Politik merupakan areal pengabdian bersemangat ibadah. Agama Islam menjadi titik tolak aktivitas apapun.
Begitulah gambaran paling sederhana hubungan Islam dan politik. Bukan sekedar hubungan simbolik atau identitas. Segala aktivitas kehidupan bagi umat Islam senantiasa berangkat dari nawaitu beribadah. Demikian pula aktivitas politik merupakan ajang peribadatan untuk mewujudkan kemaslahatan di tengah masyarakat.
Umat Islam berpolitik sepenuhnya bertitik tolak pengabdian kepada Allah. Dan sejalan ajaran Islam kehadiran umat Islam dikancah politik harus bernilai rahmatan lil alamin. Memberikan kemaslahatan kepada seluruh masyarakat bahkan pada lingkungan alam.
Pada konteks ini yang dikedepankan nilai-nilai Islam; subtansi ajaran Islam. Bukan sekedar simbol Islam. Islam dijadikan titik tolak pengabdian melalui jalur politik. Politik di sini bukan tujuan tapi sekedar alat mengetrapkan nilai-nilai keislaman sehingga terwujud rahmatan lil alamin.
Ayo jangan jual ayat-ayat Allah dengan harga murah hanya demi kepentingan politik sesaat. Apalagi untuk sekedar menjadi pembungkus demi menaikkan elektabilitas.