Oleh: MH. Said Abdullah*
Pada setiap momen akhir tahun di negeri ini selalu muncul perbincangan dan bahkan mengarah ke perdebatan tentang boleh tidaknya mengucapkan selamat Natal. Di era media sosial seperti sekarang ini soal terkait umat Kristiani itu terasa makin heboh. Apalagi ketika dibumbui nuansa kepentingan pertarungan politik.
Layaknya persoalan terkait persepsi selalu merebak konsepsi yang terasa subyektif disamping yang bersemangat obyektif. Demikian pula muncul cara pandang yang kental kepentingan politik terutama terkait Pilpres 2019.
Yang paling sering dikaitkan dengan Natalan adalah fatwa MUI. Walau fatwa yang menyebabkan Prof. Dr Hamka mundur dari MUI sebenarnya sudah selesai. Seluruh ulama sepakat bahwa menghadiri peribadatan Natal memang dilarang sebagaimana subtansi fatwa MUI. Umat Islam dan bahkan umat Kristiani pun memahami fatwa itu.
Namun agaknya fatwa MUI kemudian diseret ke wilayah sosial dan bukan lagi sebatas persoalan peribadatan. Masyarakat seakan dikaburkan pemahaman bahwa fatwa MUI juga menegaskan soal bersifat sosial seperti mengucapkan selamat natal dan sejenisnya. Padahal fatwa MUI sangat jelas menyangkut persoalan Ubudiyah, tata peribadatan.
Irfan Hamka, salah seorang putra Prof. Dr. Hamka sampai merasa perlu menyampaikan bahwa ayahnya tak mempermasalahkan ucapan selamat natal. Irfan Hamka tegas menceritakan bahwa Prof. Dr. Hamka pernah menyampaikan ucapan selamat Natal.
Perbedaan persepsi menyangkut kehidupan sosial apalagi memasuki wilayah fiqih memang potensial berbeda. Biasa sebenarnya berbeda pendapat tentang boleh tidaknya mengucapkan selamat Natal. Seharusnya perbedaan itu jangan sampai disamarkan antara lain dengan misalnya memplintir seakan Fatwa MUI melarang mengucapkan selamat Natal.
Dengan menempatkan pada proporsinya perbedaan akan menyegarkan pemikiran. Sehingga tidak menimbulkan ketegangan di antara yang berbeda pendapat.
Persoalan yang sebenarnya merupakan wilayah fiqih ini perlu pula dijauhkan dari persepsi atas dasar kepentingan politik. Misalnya, jika lawan politik yang mengucapkan selamat Natal dianggap melecehkan agama Islam, diragukan keislamannya. Sementara bila ucapan selamat Natal disampaikan tokoh yang didukung dianggap sebagai kebaikan.
Contoh paling aktual ucapan selamat Natal yang disampaikan KH. Ma’ruf Amin. Pesan sosial Cawapres pasangan nomor urut satu itu digoreng habis-habisan. Bahkan ada yang mengedit video KH. Ma’ruf Amin dipakaikan baju sinterklas. Sebuah cara berpikir dan berperilaku jauh dari berkeadaban serta sudah sampai taraf kategori menfitnah.
Sikap Prabowo, Capres nomor urut dua, yang mengucapkan selamat Natal oleh kalangan lain hanya diperbandingkan. “Prabowo juga mengucapkan selamat Natal. Bahkan hadir dalam acara misa Natal,” kata lainnya.
Apa yang dilakukan baik oleh KH. Ma’ruf Amin dan Prabowo seharusnya dihormati sebagai sikap pribadi. Tidak perlu dijadikan amunisi politik bernuansa kebencian. Apalagi ini menyangkut sikap sosial yang tak mungkin lepas dari budaya, kebiasaan, dan keseharian masyarakat negeri ini.
Mereka yang merasa yakin dengan pendapat membolehkan mengucapkan selamat natal dipersilahkan mengucapkan selamat Natal. Yang yakin tidak perlu mengucapkan juga dipersilahkan.
Yang penting mari persoalan elementer ini, yang dalam agama Islam disebut fiqih -yang potensial berbeda- jangan sampai meretakkan hubungan persaudaraan rakyat negeri ini.
*Wakil Ketua Banggar DPR RI.