Oleh: MH. Said Abdullah*
Pemberitaan wacana rencana pembebasan Ustaz Abu Bakar Ba’asyir beberapa hari terakhir ini terasa sangat luar biasa. Baik media mainstream maupun media sosial gencar membahasanya. Demikian pula pemberitaan beberapa media luar negeri terutama dari negara yang merasa berkepentingan seperti Australia.
Pro kontra terhadap rencana pembebasan itupun seperti biasa dikaitkan pula dengan hajatan lima tahunan, Pilpres. Rencana Presiden Jokowi atas masukan pengacara Tim Nasional Kampanye Capres Jokowi yaitu Yustril Ihza Mahendra seperti biasa menjadi ‘gorengan’ politik. Tudingan pembebasan sebagai pencitraan menjelang Pilpres deras mengarah ke Presiden Jokowi. Sementara mereka yang memiliki sikap keras perlawanan pada tindakan terorismepun memperlihatkan penolakannya.
Pernyataan Presiden Jokowi, yang menegaskan pembebasan Abu Bakar Ba’asyir atas dasar pertimbangan kemanusiaan seperti tertutup tudingan pencitraan. Demikian pula berbagai pertimbangan hukum yang sebenarnya mengiringi rencana pembebasan itu juga terabaikan.
Di sinilah terlihat sangat jelas bahwa persoalan rencana pembebasan Abu Bakar Ba’asyir tidak didudukan secara proporsional. Kecenderungan persoalan pembebasan Abu Bakar Ba’asyir lebih dilihat dari persepsi kepentingan terutama kecurigaan demi Pilpres untuk pencitraan Jokowi. Akibatnya keutuhan persoalan Abu Bakar Ba’asyir tidak terungkap sepenuhnya ke publik.
Salah satu yang paling mendasar adalah skema pembebasan bersyarat kepada Abu Bakar Ba’asyir yang seakan diabaikan dalam perbincangan publik. Padahal, sebagaimana ditegaskan Mahfud MD dalam twitnya bahwa tak mungkin Abu Bakar Ba’asyir dikeluarkan dengan bebas murni. Sebab, lanjut Mahfud, bebas murni hanya dalam bentuk putusan hakim bahwa yang bersangkutan tak bersalah. Yang mungkin sesuai dengan hukum yang berlaku kepada Abu Bakar Ba’asyir hanya bisa bebas bersyarat. “Artinya, dibebaskan dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi,” tegas Mahfud.
Jadi, pembebasan bersyarat atas dasar kemanusiaanpun sebenarnya sebagaimana ditegaskan Presiden Jokowi bukan bebas murni. Tetap dengan syarat-syarat tertentu yang sesuai kepentingan negara ini.
Nah, ketika ternyata Abu Bakar Ba’asyir menolak setia dan menerima Pancasila dan NKRI secara tertulis maka persoalan pembebasan wajar mengalami penundaan. Bagaimanapun pemenuhan persyaratan menyangkut subtansi ketaatan kepada negara adalah segala-galanya.
Presiden Jokowi sangat tegas ketika menyangkut persoalan negara. Beliau tidak berkompromi sedikitpun. Kepentingan negara adalah di atas segala-galanya. Marwah negara tak bisa ditukar kepentingan apapun termasuk untuk sebuah alasan kemanusiaan karena Abu Bakar Ba’asyir menolak menandatangi pernyataan kesetiaan kepada Pancasila dan NKRI.
Pernyataan Menko Polhukam, Wiranto sebagai pembantu Presiden sebenarnya sangat jelas bahwa Presiden Jokowi sudah tentu tidak akan ‘grusah-grusuh.’ Bahwa pembebasan Abu Bakar Ba’syir tetap atas dasar prinsip-prinsip hukum serta terutama kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Presiden seperti ditegaskan Wiranto memerintahkan kepada pejabat terkait untuk segera melakukan kajian secara lebih mendalam dan komprehensif guna merespons permintaan pembebasan dari keluarga Abu Bakar Ba’asyir. “Pembebasan Ba’asyir masih perlu dipertimbangkan dari aspek-aspek lainnya. Seperti aspek idiologi Pancasila, NKRI, hukum dan sebagainya,” jelas Wiranto.
Apapun di tahun politik ini agaknya selalu dikaitkan dengan Pilpres. Jangankan pembebasan Abu Bakar Ba’asyir hal-hal kecilpun selalu dilihat dari kepentingan Pilpres. Sebuah kondisi yang memang bisa dipahami. Namun demikian tetap perlu selalu dikedepankan kejernihan berpikir agar Pilpres menggembirakan dan bukan justru memunculkan ketegangan, yang dapat merugikan kepentingan kedamaian negeri ini.
*Wakil Ketua Banggar DPR RI