Oleh: Miqdad Husein
Tahun 2019 belum sebulan berlalu. Namun sudah dua hoaks besar merebak di tengah masyarakat. Pertama hoaks soal tujuh kontaenir suara yang sudah dicoblos yang dituding bertujuan memenangkan Jokowi. Lalu hoaks yang menuduh ijazah SMA Jokowi palsu.
Itu baru dua hoaks yang pembuat dan penyebarnya telah diproses hukum. Belum termasuk kekeliruan data yang disampaikan Capres Prabowo Subianto tentang tentara Nasional yang disebut lemah serta cadangan beras nasional hanya cukup tiga minggu. Padahal kekuatan tentara Indonesia nomor 15 di dunia dan nomor lima di kawasan Asia serta penegasan Bulog menyebutkan cadangan beras 1,3 juta ton yang cukup untuk enam bulan ke depan. Sejauh ini belum ada kejelasan apakah informasi yang disampaikan dalam Pidato Kebanggsaan itu apakah karena kecerobohan atau ketaktahuan dan kemungkinan lainnya.
Layak dicermati bahwa fenomena hoaks bernuansa politik telah berlangsung relatif lama sejak menjelang Pilpres 2014 dan belakangan makin marak menjelang Pilpres 2019. Di momen Pilpres 2014 Tabloit Obor Rakyat menjadi ikon paling menonjol sebagai sumber hoaks. Kini, hoaks bernuansa politik lebih banyak muncul di media social seperti twitter, facebook dan lainnya.
Menarik dicermati pula hoaks, fitnah, ujaran kebencian hampir seluruhnya mengarah kepada Presiden Jokowi. Praktis hampir tak ada hoaks dan fitnah yang mengarah kepada lawan dari Joko Widodo baik pada Pilpres 2014 maupun menjelang Pilpres 2019.
Durasi waktu serta urutanpun seperti memiliki ritme. Satu diproses hukum hilang dari pemberitaan, beberapa waktu kemudian muncul hoaks, fitnah baru yang mengarah baik langsung maupun tak langsung kepada Presiden Jokowi serta partai pendukungnya PDI Perjuangan.
Dengan mencermati anatomi serta runtutan waktu agak sulit mengingkari berbagai hoaks, fitnah menyerang Jokowi itu ada desain besar di dalamnya. Artinya, masyarakat awampun dapat merasakan aroma sistematis, terstruktur serta bersifat masif. Tersebar luas luar biasa di lingkaran para pendukung lawan politik Jokowi. Biasanya penyebaran berhenti setelah ada tindakan dari aparat hukum.
Masih ingat kasus Ratna Sarumpaet? Jika tak terungkap kebohongannya dan tak tertahan kepergian ke Cilie kasus Ratna akan sangat dasyat menyerbu dan menghancurkan pemerintahan Presiden Jokowi. Beruntunglah aparat kepolisian berhasil mengamankan saat Ratna Sarumpaet telah berada di Bandara Soekarno Hatta.
Sulit membayangkan jika Ratna Sarumpaet berhasil meninggalkan Indonesia sementara berita bohong penganiayaannya telah tersebar masif. Proses hukum pembuktian kebohongan itu akan sulit dilakukan aparat kepolisian jika Ratna Sarumpaet telah di Cile sehingga berita bohong akan menjadi kebenaran yang dapat menghancurkan wibawa pemerintahan Presiden Jokowi. Dari Cile Ratna Sarumpaet akan merasa aman memperkuat kebohongan sistematisnya.
Dengan melihat anatomi dan rentetan kasus penyebaran hoaks, fitnah dan ujaran kebencian yang menyebar masif di media sosial dan menjadi perbincangan masyarakat luas aparat kepolisian selayaknya mulai lebih mendalami membongkar siapa aktor intelektualnya. Jadi, bukan sekedar memproses mereka yang hanya sekedar memposting. Perlu diinvestigasi siapa sebenarnya otak penyebaran hoaks, fitnah, ujaran kebencian yang dari modus operandinya sangat sistematis, terstruktur dan memiliki kecenderungan masif.
Rasanya penyebaran kebohongan dan kebencian itu jauh dari kesan kebetulan dan ketaktahuan. Sasarannya selalu sangat jelas dan mengarah kepada Presiden Jokowi. Itu artinya semua diduga didesain secara terencana, sistematis dan tujuan terarah.
Masyarakat negeri ini terutama menjelang pelaksanaan Pilpres dan Pilpres seakan dikepung hoaks, fitnah dan ujaran kebencian sehingga menimbulkan ketegangan dan riak-riak yang potensial membahayakan kedamaian negeri ini. Karena itu sebelum segala sesuatunya berubah menjadi titik masuk konflik horizontal langkah-langkah taktis dan strategis perlu segera dilakukan terutama mencari aktor intelektual yang menjadi sumber keresahan masyarakat itu.
Kedamaian dan persaudaraan rakyat negeri ini jangan sampai terkoyak oleh syahwat kekuasaan. (*)