Oleh: Nia Kurnia Fauzi*
“Ini seperti bertemunya ruas dan buku. Mereka menuntut, dan pemerintah juga telah memutuskan: perangkat desa akan diberikan penghasilan setara ASN golongan 2A dengan mempertimbangkan masa kerja. Peraturan Pemerintah tentang hal ini segera direvisi, dan mudah-mudahan sudah bisa dikeluarkan dalam dua pekan ini”.
Begitulah yang diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam akun Instagramnya. Ungkapan itu tiba-tiba viral dan dibicarkan banyak orang di seluruh Indonesia tercinta ini.
Tentu, ini bukan soal viral, tetapi soal usaha pemerintah untuk memartabatkan aparat desa di seluruh Indonesia. Bagi pemerintah, ini cara terbaik guna menyukseskan salah satu dari 9 nawacitanya, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
Kebijakan ini pun diharap tidak hanya disambut sumringah oleh aparatur desa, apalagi euforis. Namun, harus dijadikan pemantik untuk terus bekerja lebih baik. Sehingga mampu memberikan sumbangsih yang besar untuk pembangunan desa yang lebih mandiri dan sejahtera.
Sebab sejak DD-ADD dikucurkan oleh pemerintah, pembangunan di desa belum berjalan maksimal. Desa-desa belum bangkit seperti impian Presiden. Penyebabnya apa? Karena kapasitas aparatur desa yang masih pas-pasan. Atas dasar itulah, saatnya desa move on. Kebijakan naiknya gaji aparatur desa adalah momentum tepat menuju perubahan.
Saat ini, kita punya 74.910 desa dengan meliputi sekitar 80 persen wilayah daratan Indonesia. Namun, hanya 44 persen penduduk Indonesia berada di desa, sementara 56 persen penduduk kita lebih suka tinggal kota.
Buktinya, terjadi perpindahan penduduk yang besar-besaran. Bahkan merantau sudah menjadi hal lumrah dilakukan oleh warga.
Lalu, pertanyaannya, kenapa mereka merantau? Padahal, sumber kekayaan nyaris semuanya ada di desa. Seperti sumber pangan. Termasuk sumber bahan baku industri berada di desa. Belum lagi sumber mineral, minyak bumi dan gas hingga semua bahan tambang.
Salah satu penyebanya, karena di desa belum memberikan kehidupan yang layak bagi mereka. Sehingga merantau menjadi pilihan, membiarkan rumah kosong tanpa penghuni. Atas dasar itulah, DD dan ADD dikucurkan untuk memulihkan desa dan “memanggil” mereka (yang merantau) untuk pulang ke kampung halamannya.
Maka dari itu, mari kebijakan ini tidak dilihat sebelah mata. Sudah saatnya kita memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk berbuat lebih banyak untuk desa. Kebijakan Presiden ini tidak boleh disangka yang bukan-bukan. Karena pemerintah menginginkan masyarakat Indonesia yang lebih maju dan bermartabat. Keinginan ini akan dimulai dari bawah, melalui kinerja perangkat yang akan lebih samangat dan termotivasi untuk makismalkan program desa.
“Sudah kita putuskan penghasilan tetap perangkat desa disetarakan dengan (PNS) golongan IIA, Bapak tak perlu lagi kumpul disini lagi, saatnya kita kembali ke daerah masing-masing,” kata Jokowi kemudian disambut sorak gembira oleh para perangkat desa yang hadir di Istora Senayan, Jakarta, Senin 14 Februari 2019 kemarin.
Bahkan penghasilan tetap bagi perangkat desa itu sudah dibahas melalui Kementerian Dalam Negeri, Mentri Keuangan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Bahkan Jokowi menargetkan, sekitar Februari 2019 kebijakan ini akan bisa dinikmati oleh perangkat desa di seluruh Indonesia.
Begitu pula dengan Anggaran Dana Desa yang digelontorkan setiap tahunnya pun terus bertambah. Tahun pertama Pemerintah Pusat menggelontorkan Dana 20,7 Triliun, kemudian pada tahun berikutnya 47 Triliun, dan 2017-2018 masing-masing 60 Triliun, sedangkan Tahun ini sebesar 70 Triliun.
Kini, gaji perangkat juga sudah dinaikkan, maka sudah saatnya desa-desa di Indonesia, lebih-lebih di Sumenep untuk meniru cara Ponggok yang luar biasa dengan dana desa. Semua sektor hidup, baik ekonomi, perikanan, pendidikan, hingga wisata. Tentu, ini semua bisa dilakukan dengan SDM yang mumpuni. Semoga naiknya gaji bisa memecut motivasi para perangkat desa untuk bekerja dengan baik. (*)
*Pembinan Taruna Merah Putih