SAMPANG, koranmadura.com – Jenazah Misnadah (35), TKI asal warga Pulau Madangin, Kecamatan Sampang, Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur yang meninggal di Arab Saudi terancam tidak bisa dimakamkan di kampung halaman. Selain biaya yang tak sedikit, Misnadah juga diduga jadi korban oknum PT asal dari Jakarta yang beroperasi di Sampang.
Ahmadi (40), suami Misnadah mengatakan, istrinya berangkat dari rumahnya pada Minggu, 6 Januari 2019 lalu. Sejak keberangkatannya menuju Arab Saudi, kondisi istrinya itu dalam keadaan sehat. Namun setelah transit dari Bandara Surabaya ke Singapura, kondisi istrinya mengalami sakit di bagian pinggangnya hingga mengalami buang air besar berdarah. Kabar tersebut diketahuinya setelah istrinya menelpon Ahmadi untuk memberitahukan kondisinya.
“Sebelum penerbangannya dilanjutkan ke Arab Saudi, saya meminta kepada istri saya untuk berobat dulu dengan meminta tolong pada pihak PT di Jakarta yang membawanya. Nah, ntah sudah berobat atau belum, saya kurang tahu. Setelah sampai di Arab Saudi, istri saya dikabarkan meninggal di rumah sakit pada, Sabtu, 12 Januari kemarin karena kondisinya ngedrop,” tutur Ahmadi, Senin, 14 Januari 2019.
Ahmadi yang keseharainnya sebagai nelayan Mandangin, mengaku istrinya baru pertama kali ke Arab Saudi. Dari pengakuan pihak PT tersebut, istrinya akan dipekerjakan di Riyad sebagai cleaning service. Sebelumnya, kondisi kesehatan istrinya memang diakuinya pernah memiliki riwayat penyakit kadar gula yang tinggi, namun penyakitnya sudah sembuh total sebelum berangkat. Bahkan keterangan medis yang terakhir, kadar gulanya sudah normal.
“Saya ditelpon oleh PT di Jakarta, dan pihak PT mengaku heran dengan kondisi istri saya. Pihak PT itu mengaku kondisi istri saya dari Bandara Juanda ke Singapura itu sehat, tapi kenapa dari Singapura hingga tiba di Arab tiba-tiba ngedrop,” akunya.
Sejak meninggal pada Sabtu, 12 Januari kemarin, dirinya berharap jenazah istrinya bisa dipulangkan ke kampung halamannya. Namun keinginannya sepertinya sulit terealisasi karena pihak PT tampak tidak mau bertanggung jawab.
“Tapi dari pihak PT bilang, kalau mau di kubur di kampung halaman, ya harus nunggu, bisa-bisa sebulan nunggunya. Tapi kalau mau di kubur di sana, itu tidak ruwet. Ya, saya seperti diarahkan kalau jenazah istri saya agar dikubur di sana. Padahal saya berharap jenazah istri saya dikubur di Mandangin,” harapnya.
Dirinya mengeluh lantaran untuk pemulangan jenazah istrinya diinformasikan akan memakan biaya tak sedikit, bahkan sampai ratusan juta rupiah.
“Kabarnya kalau mau memulangkan jenazah istri saya dari Arab ke Jakarta itu Rp 40 Juta. Dan dari Jakarta ke Sampang suruh tanggung sendiri. Tapi dari PT itu, meminta biaya pemulangannya agar ditanggung bersama dengan keluarga,” keluhnya.
Diskumnaker: Kami Tidak Bisa Apa-apa
Sementara Kasi Transmigrasi Dinas Koperasi Usaha Mikro dan Tenaga Kerja (Diskumnaker) Kabupaten Sampang, Agus Sumarso mengaku, setelah ada moratorium, pihaknya mengaku tidak ada pengiriman TKI ke Arab Saudi. Sehingga kepergian warga Mandangin ke Arab Saudi tersebut bukan melalui jalur resmi alias ilegal.
“Kalau ada yang mengatasnamakan dari PT yang mengirim tenaga kerja, itu pasti ada tanda tangan persetujuan atau rekomendasi dari pihak dinas. Di Sampang pun tidak ada PT yang menawarkan jasa tenaga kerja ke Arab Saudi. Kemungkinan PT itu menawarkan jasa travel dan umroh. Dan orang yang menawarkan jasa itu, bukan dari PT melainkan jasa calo. Yang jelas keberangkatannya tidak ada tanda tangan dari kami,” tegasnya.
Sumarso menegaskan, meskipun pihak keluarga menyatakan keberangkatannya melalui jalur resmi karena melalui PT, pihaknya menyatakan untuk saat ini pemberangkatan tenaga kerja ke Arab Saudi masih belum bisa.
“Sehingga besar kemungkinan itu melalui PT Umrah bukan PT tenaga kerja. Dan keberangkatannya pun tanpa sepengetahuan kami,” ujarnya.
Selain itu pihaknya menegaskan, jika melalui PT Umrah, maka pemulangan jenazah tidak bisa ditanggung oleh PT yang sifatnya hanya menanggung beberapa hari saat perjalanannya saja.
“Pemulangan jenazah itu mahal, bisa-bisa sampai Rp 100 juta lebih. Dan kasus ini sama persis dengan warga Desa Petarongan beberapa waktu lalu, yang pemulangannya juga tidak bisa. Dari pemerintah pun hanya sekadar mengirim surat saja, itupun nanti jawabannya sama dengan disodorkan sejumlah rincian biayanya, artinya kami tidak bisa apa-apa karena melalui jalur ilegal,” pungkasnya. (MUHLIS/SOE/DIK)