Oleh: Miqdad Husein
Para ahli ilmu sosial, psikolog, ahli komunikasi dan lainnya agaknya perlu merubah pemahaman tentang hoaks jika mengkaji apa yang terjadi di negeri ini. Merebaknya hoaks di negeri ini menjelang pelaksanaan Pileg dan Pilpres secara faktual jauh berbeda dengan kajian tentang hoaks di berbagai Negara.
Pendapat David Kushner bahwa kebohongan adalah gejala dan penyakit sesungguhnya ketakmauan melakukan klarifikasi dan verifikasi jika dikaitkan fenomena hoaks di negeri ini akan meleset jauh. Fakta memperlihatkan bukan ketakmauan tabayyun tapi kecenderungan menikmati ketika hoaks atau berita bohong sejalan pikiran serta persepsi seseorang.
Ketika sebuah informasi beredar, yang mengemuka bukan pertanyaan apakah benar atau tidak tapi sesuaikah dengan kepentingan dirinya. Jika ternyata sesuai maka informasi itu walau jauh dari rasional langsung dianggap sebagai kebenaran. Jadi, kebenaran bukan lagi kebohongan yang tersebar berulang-ulang tapi jauh lebih dasyat lagi yaitu bila sejalan kepentingan. Walau baru datang sekali jika sejalan kepentingannya langsung dianggap kebenaran.
Rasionalitas di sini tidak berfungsi atau tepatnya tidak difungsikan. Karena itu sangat sulit berharap itikad melakukan klarifikasi, verikasi dan sejenisnya. Yang ada kegairahan menikmati jika memang sejalan kepentingannya. Tidak penting benar atau salah, yang utama sesuaikah dengan kepentingannya.
Mereka yang berpikir sedikit ‘waras’ jika diberitahu bahwa informasi yang beredar ternyata bohong apalagi disertai data dan fakta akan berubah persepsinya. Namun dalam konteks peredaran hoaks belakangan ini, ketika mereka diberitahupun bahwa informasi bohong tetap bersikeras menganggap sebagai kebenaran. Lagi-lagi dasarnya kesesuaian kepentingan.
Jangan berharap tentang keinginan mengklarifikasi dan memverifikasi. Mengedepankan dan menfungsikan akal sehat saja sulit diharapkan ketika informasi yang beredar sejalan kepentingan. Kebenaran adalah kesesuaian kepentingan. Titik. Fakta dan data tidak lagi menjadi penting. Kekuatan obyektivitas baru ‘terpaksa’ diakui ketika ada tsunami perlawanan seperti kasus Sarumpaet. Itupun diam-diam masih saja dibela.
Kasus hoaks kertas suara 7 kontainer, yang disebut seluruhnya berkisar 70 juta suara, yang sudah dicoblos merupakan contoh factual betapa akal sehat pada sebagian orang tidak difungsikan. Tak usah mempertimbangkan kenyataan KPU masih belum mencetak kertas suara. Termasuk juga, KPU masih berkonsultasi dengan Tim masing-masing Capres dan Cawapres tentang mana foto yang akan dipakai pada kertas suara. Memperhatikan jumlah 70 juta kertas suara saja, jika sedikit menggunakan akal sehat benar-benar sangat, sangat, luar biasa. Jauh dari rasional.
Tenaga kerja asing, yang berjumlah 10 juta datang ke negeri ini contoh lain tentang sesuatu yang jauh dari masuk akal. Angka itu jika menggunakan pesawat memerlukan sekitar 50 ribu penerbangan. Apa iya pejabat Imigrasi tidak mengetahui TKA sebanyak itu. Padahal data Kementrian Tenaga Kerja jumlah TKA di negeri ini tercatat sekitar 83 ribu. Sangat spektakuler angka 10 juta dibanding yang terdata di Kementrian Tenaga Kerja.
Masih banyak hoaks dan bahkan fitnah beredar di tengah masyarakat menjelang Pilpres dan Pileg. Yang menyedihkan sering dikemas dan dibungkus ajaran suci agama. Makin parah lagi disebarkan oleh tokoh-tokoh yang oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai ulama.
Peredaran hoaks di negeri ini jika mencermati anatomi dan karakter serta sifatnya benar-benar sangat menghawatirkan. Hoaks tanpa dipungkiri telah dinikmati dan dianggap sebagai kebenaran. Bahkan hoaks lebih dipercaya dibandingkan fakta dan data. Ukuran kebenaran adalah kepentingan, bukan fakta dan data. Begitulah. (*)