Oleh: MH. Said Abdullah
Beberapa hari belakangan ini masyarakat Indonesia disuguhi dua pernyataan sosok elite yang menimbulkan tanda tanya serta sedikit kegamangan. Yang pertama pernyataan Ketua Umum Nahdatul Ulama KH. Said Aqil Siraj. Kedua pernyataan mantan Menteri Rizal Ramli.
KH. Said Aqil Siraj dalam acara Harlah Muslimat NU ke 73 mengatakan antara lain bahwa Menteri Agama, Kepala Kemenag, khatib, imam Jumat, imam masjid harus NU. “Karena kalau bukan NU nanti salah semua,” katanya.
Belakangan KH. Said Aqil mengklarifikasi pernyataannya dengan menegaskan bahwa dirinya tak bermaksud menyepelekan pihak lain. “Maksud pernyataan saya, kalau bukan NU nanti amalan amaliah-amaliah NU akan disalah-salahkan semua,” jelas Said Aqil.
Pernyataan kedua disampaikan Rizal Ramli dalam twittnya. Rizal menyebut bahwa Indonesia akan ngutang lagi sebesar 2 milyar dollar dengan yield 11,625 persen. “Itu Yield tertinggi di kawasan karena Vietnam saja mengeluarkan surat utang hanya dengan yield 5 persen,” katanya.
Seperti Said Aqil, belakangan Rizal mengoreksi terkait bunganya. “Mohon maaf, terjadi kesalahaan. Yield 11,625 persen adalah surat utang lama RI. Yield utang terbaru Indonesia sekitar 8,5 persen,” klarifkasi Rizal.
Kementerian Keuangan membantah keseluruhan pernyataan Rizal Ramli. Apa yang disebut Rizal merupakan utang melalui surat utang yang diterbitkan tahun 2009. “Saat ini, imbal hasil atau yield di pasar sekunder untuk bonds Pemerintahan dalam USD untuk tenor 10 tahun adalah sebesar 4,2 persen. Jadi, semua yang dinyatakan Pak Rizal Ramli adalah kesalahan dia dalam membaca data,” tegas Nufransa Wira Sakti, yang mewakili Kementerian Keuangan RI.
Pernyataan Saiq Aqil walau tetap direspon oleh Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah namun tetap dalam koridor dialog intelektual sehingga lebih merupakan perbedaan persepsi semata. Apalagi diikuti langkah klarifikasi dari Said Aqil sendiri. “Tetap ciptakan suasana tenang dan ukhuwah, tidak perlu bereaksi melebihi takaran,” tutur Haedar Nashir.
Sekalipun dua pernyataan sosok elite itu sejauh ini teredam sehingga terhindar melebar namun tetap perlu menjadi pembelajaran bagi siapapun. Bahwa dalam tahun politik seperti sekarang ini perlu diterapkan ekstra kehati-hatian dalam menyampaikan pernyataan terutama yang disebarkan ke media sosial dari para elite yang relatif memiliki pendukung.
Baik Said Aqil maupun Rizal Ramli merupakan dua sosok yang apabila menyampaikan pernyataan atau bersikap akan menarik perhatian setidaknya dari komunitasnya ataupun para simpatisannya. Pernyataan dan sikap keduanya tentu akan memberikan dampak sosial bila ternyata salah dan tidak diikuti antisipasi melalui klarifikasi maupun koreksi obyektif.
Namun demikian bagaimanapun dua sosok tokoh nasional itu walau sempat terpeleset namun dengan jiwa besar keduanya berkenan mengoreksi atau meluruskan pernyataannya sehingga perlu mendapat apresiasi. Para elite lainnya perlu –tidak hanya pembelajaran agar berhati-hati- namun juga kejujuran dan kedewasaan untuk memperbaiki atau meluruskan pernyataannya.
Penegasan ini penting karena di tengah suasana persaingan menjelang Pilpres dan Pileg ini masih ada mereka yang disebut tokoh nasional justru secara sadar membombardir public dengan berbagai pernyataan kasar serta kurang mendidik. Kata-kata kasar yang terlontar itu makin membuat suasana ketegangan yang potensial memantik konflik sosial di tengah masyarakat.
Ayo kawal kedamaian negeri ini dengan kedewasaan dan semangat persaudaraan agar Pemilu 2019 berjalan jujur, adil, damai untuk modal menuju Indonesia hebat.
*Wakil Ketua Banggar DPR RI