Oleh: Miqdad Husein
Doa dalam peribadatan kini tak hanya berisi permohonan. Doa tak lagi memohon ampun, mengadu, merintih dan mengiba-iba. Doa kini mulai berisi ancaman atau sekurangnya sebuah desakan kekhawatiran. Tuhan telah mulai berhadapan tuntutan dari makhluknya.
Paling tidak begitulah yang mulai terasa ketika seorang Neno Warisman berdoa. Ia berdoa seperti membaca puisi. Dan yang mengejutkan ia seperti memberikan pilihan iya atau tidak kepada Allah Subhanahu wata’ala. Dengan kekhawatiran atau lebih terasa sebagai sebuah ancaman. Doa yang mengancam.
“Jangan, jangan Engkau tinggalkan kami dan tak memenangkan kami. Karena jika Engkau tidak menangkan, kami khawatir ya Allah, kami khawatir ya Allah, tak ada lagi yang menyembahMu.” Demikian doa yang lebih tepat disebut teriakan oleh Neno Warisman.
Mereka yang memaklumi menganggap doa Neno Warisman biasa saja. Mereka beralasan hampir semua doa merupakan tuntutan. Sebuah penyederhanaan salah kaprah karena menyamakan permohonan dengan tuntutan.
Benar tuntutan dan permohonan terkesan sama. Namun sangat jauh berbeda pemaknaan dari sudut apapun. Tuntutan adalah sebuah desakan dengan unsur memaksa disertai semacam ancaman kepada yang dituntut. Sementara permohonan merupakan permintaan, mengiba, merintih,menangis dengan menekankan dan penjelasan kondisi ‘nestapa’ pemohon agar yang dimohonkan tergerak memenuhinya. Jelas bedanya kan?
Jika misalnya doa Neno menegaskan ‘ya Allah jika kami kalah, kami akan nelangsa. Kami akan kesulitan dalam mengarungi kehidupan di negeri ini’ muatannya merupakan permohonan. Karena dalam kalimatnya memaparkan kondisi yang berdoa. Bandingkan dengan doa yang diteriakkan Neno yang sedang bikin heboh itu. Di situ ada tuntutan karena ada desakan dan bahkan ancaman kepada Allah. Kalimat “kami khawatir tak akan ada yang menyembahMu” sangat jelas memposisikan Allah dalam keterdesakan. Sama persis dengan seorang meminta kepada orang lain ‘berikan cincin itu kalau tidak semua orang nanti akan meninggalkanmu.’ Beda jelas bukan jika yang meminta mengatakan ‘jika cincin itu tidak diberikan, saya akan sengsara, orang akan memaki saya.’
Doa Neno Warisman tidak sesat karena memang pernah disampaikan oleh Nabi Muhammad saat akan menghadapi perang Badar. Doa Neno menjadi bermasalah karena sangat jelas memanipulasi kondisi. Mengancam atau paling tidak mendesak Allah dengan situasi kepentingan diri dan kelompoknya serta bukan realitas sosial riil.
Ia mengisi muatan doa sepenuhnya dengan kepentingan syahwat politik. Ia mendesak Allah bukan karena situasi riil Islam tetapi karena kepentingan kekuasaan. Ia telah menempatkan orang-orang yang sekedar hanya berbeda sebagai lawan bahkan secara tak langsung disebut kafir. Sangat khawarij bukan? Apalagi sampai mengancam dan mendesak Allah.
Sekedar perbandingan, doa itu diucapkan Nabi Muhammad ketika menghadapi perang Badar yang memang menentukan hidup mati Islam, yang saat itu masih embrio. Jika terjadi kekalahan pasukan Islam saat itu akan menjadi kehancuran seluruh dakwah Nabi Muhammad. Yang dihadapi pun kekuatan di luar Islam. Jadi situasi keterdesakan yang dengan jelas diperlihatkan dari kondisi yang sedang berperang. Lha, sekarang ini memang Neno dan kelompoknya perang dengan siapa?
Apakah jika Prabowo kalah dan Jokowi menang masjid-masjid, tempat peribadatan akan dihancurkan? Apakah ummat Islam termasuk yang mendukung Prabowo tidak lagi dapat beribadah dengan tenang. Apakah agama Islam akan dilarang hidup di negeri ini jika Jokowi menang atau Prabowo kalah?
Di sinilah inti persoalan doa Neno Warisman. Bukan soal salah dan tidak salah serta sesat dan tidak sesat tapi pada titik tolak doa diucapkan dan yang menjadi tujuan doa itu. Manipulasi situasi, itu yang dilakukan. Neno telah memutarbalikkan situasi seakan ummat Islam akan hancur di negeri ini jika Prabowo kalah.
Sangat jelas ada muatan provokasi dari penyampaian doa itu. Sebuah provokasi yang mempertajam perbedaan dan menganggap perbedaan pilihan politik sebagai lawan yang harus dihabisi. Neno Warisman telah menebar konflik di antara ummat Islam. Sangat khas khawariz. Berbahaya sekali.
Ummat Islam harus mampu menahan diri dengan provokasi menyesatkan ini. Perbedaan pilihan dalam Pilpres bukanlah pertarungan hidup mati. Pilpres hanya fastabiqul khairat, untuk berlomba-lomba dalam kebaikan mencari anak bangsa terbaik untuk memimpin negeri ini. Sebatas itu.