Oleh: Miqdad Husein
Ini cerita tentang seorang Facebooker yang terpaksa pindah masjid saat menunaikan sholat Jumat ketika khotbah sedang berlangsung. Sebab musababnya ternyata terkait persaingan Pilpres.
Materi khotbah seperti diceritakannya berisi kecaman dan hampir mendekati sumpah serapah kepada salah satu calon. Lebih parah lagi konten khotbah hampir semua tak terbukti sehingga terindikasi hoax dan fitnah.
“Saya mengintrupsi Khotib dan menyampaikan protes keras. Lalu pergi pindah ke masjid terdekat. Separuh jamaah Jumat juga ikut ke luar pindah ke masjid lain,” katanya.
Cerita berbeda dialami seorang Khotib. Usai khotbah ia mendapat tekanan dari salah seorang jamaah sholat Jumat karena bersikap netral. “Harusnya bapak bersikap tegas siapa yang harus dipilih. Ummat Islam perlu ketegasan agar bebas dari pelemahan rezim ini,” katanya, tanpa bisa menjawab apa bukti ada pelemahan ummat Islam.
Pernik-pernik di sekitar khotbah Jumat itu menggambarkan problem serius sikap beragama komunitas yang disebut elite agamawan yaitu para Khotib. Sementara respon ummat yang menekan Khotib memperlihatkan distorsi pemikiran hingga menganggap situasi sosial ummat Islam seakan sedang berada dalam kondisi kritis.
Secara konsepsi keislaman sebenarnya sah saja khotbah, ceramah agama berisi materi atau kajian politik. Tentu saja materi politik di sini yang mencerahkan pemikiran ummat dan bukan mengarahkan pada keberpihakan sempit demi syahwat kekuasaan.
Ulama, tokoh agama, menyampaikan moral politik dan bukan politik kekuasaan. Masyarakat diberikan bimbingan misalnya parameter moral, landasan nilai dalam berpolitik. Bagaimana memilih pemimpin yang baik dan hal moral lain. Sementara keberpihakan atau pilihan politik diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat sendiri.
Melalui pendekatan pencerdasan ummat tidak akan mudah terbelah dalam keberpihakan. Ummat tidak mudah terperangkap pengerasan kelompok atas dasar pilihan politik yang dikendalikan para elite agamawan.
Para ulama Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah bisa menjadi contoh relatif ideal. Secara kelembagaan para ulama di organisasi itu membiarkan anggotanya dalam memilih. Dua lembaga itu hanya memberi pedoman bagaimana dan atas dasar apa memilih pemimpin. Ummat dengan demikian tidak terperangkap dalam pengerasan kelompok, merasa paling benar atas dasar legitimasi bermuatan keagamaan.
Apalagi bila elite agamawan secara personal ikut aktif lebih menekankan pemberian bingkai moral dibandingkan keberpihakan. Ummat seperti mendapat bimbingan dan pencerahan politik tanpa harus mengentalkan atau mengeraskan pengelompokan.
Insiden Khotib yang memperlihatkan keberpihakan politik merupakan contoh resultan dari pengelompokan beberapa orang mengatasnamakan ulama yang memunculkan keputusan seperti Ijma’. Terjadi pengerasan sikap politik: yang seperti Khotib itu tadi- merasa seakan mewakili kebenaran mutlak sikap politik bermuatan keagamaan. Politik di sini diposisikan sebagai keimanan tanpa ruang interaksi dan dialog cerdas.
Khotib dan sebagian ummat dengan anatomi keputusan politik berbumbu utama keimanann sejenis Ijma’ ulama mudah mewujudkan egoisme politik. Mereka merasa paling benar dan yang berbeda dianggap melabrak keimanan. Mereka yang berbeda bahkan divonis keluar dari ajaran Islam.
Memilih mentaati kepada Ijma’ dianggap jalan menuju surga. Sementara yang menantan kadang secara ekstrim dicap keluar dari Islam.
Betapa berbahayanya ketika agama hanya dijadikan legitimasi kepentingan politik kekuasaan dan bukan untuk peningkatan kualitas moral dan pencerahan pemikiran. Selalu akan muncul kegaduhan dan ketegangan yang potensial menimbulkan konflik sosial. Begitulah.